PASTIKAN SUDAH BERSIH DAHULU SEBELUM TUDING YANG LAIN KOTOR
Rara Trisia
Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Bandar Lampung
Jika dirunut dari kronologis kejadian, gaduh seputar penindakan atau penangkapan terhadap Ketua Umum Persatuan Pewarta Negara Indonesia (PPWI) Wilson Lalengke diawali oleh pemberitaan seputar perselingkuhan tokoh publik dan kerabat salah satu Bupati di Lampung. Yang berselingkuh tak ingin jadi terkenal dan minta berita “dihapus”. Untuk penghapusan berita ada nominal dilibatkan. Yang awalnya Rp50 juta jadi Rp2,8 juta. Singkat cerita, yang berselingkuh merasa diperas laporkan si wartawan dan direspon Satreskrim Polres Lampung Timur dengan penangkapan terhadap wartawan tersebut dan menyita uang Rp2,8 juta tersebut. Penindakan terhadap si wartawan yang ternyata merupakan anggota Persatuan Pewarta Negara Indonesia (PPWI) direspon Ketua Umum (Ketum) PPWI Wilson Lalengke yang sengaja datang dari Jakarta ke Lampung Timur untuk membela anggotanya. Dari sini masuklah ke babak gaduh berujung penangkapan Sang Ketum dan merembet kesana kemari. Bahkan seperti mengaburkan titik awal kasus tersebut yakni berita perselingkuhan yang ingin “dihapus” dari jagat maya.
Hormati dan Tegakkan ‘Dapur Redaksi’ Media
Tiap media pers sejak mulai didirikan sudah mempunyai standar operasional yang sering dijadikan acuan kerja pekerja pers mereka dan bahkan jadi ciri khas mereka. Meminjam istilah dunia kuliner, standar operasional ini akrab disebut ‘Dapur Redaksi’ yang menampung, meramu, memproses dan memutuskan sajian berita mana yang disajikan bagi publik yang menjadi sasaran atau konsumen mereka. Banyak ketentuan didalamnya yang memastikan berita tersebut layak saji. Jadi ada proses panjang dan berjenjang yang harus dijalani berita sebelum dinyatakan lulus disajikan pada publik. Kalaupun setelah disajikan ternyata ada perubahan bahwa itu tak layak saji, tentu sudah ada protokol jelas bagaimana merubah sajian tersebut. Apalagi jika ingin menghapus sajian berita itu. Sudah ada syarat dan ketentuan mengapa berita harus dihapus (misalnya tidak sesuai fakta dilapangan) dan pasti harus sepengetahuan minimal dari Pimpinan Redaksi selaku pemegang komando tertinggi produksi pemberitaan suatu media.
Kembali ke awal, berita perselingkuhan salah satu tokoh publik dan kerabat pejabat yang dimuat salah satu media online di Lampung Timur tersebut pasti sudah diproses dapur redaksi tersebut. Setelah disajikan, ternyata tak disukai tokoh publik tersebut dan minta dihapus. Hanya saja, permintaan penghapusan ini tidak lewat pintu resmi atau lewat proses redaksional yang sudah ada. Si tokoh publik minta lewat pintu belakang, direspon si wartawan dan negosiasi berlangsung, sayangnya, disalah satu masjid BUKAN dikantor redaksi media tersebut.
Pepatah bilang karena nila setitik rusak susu sebelanga. Penyelesaian lewat pintu belakang inilah berentet panjang. Belum lagi ‘digoreng’ supaya mencuri perhatian publik dan diatur sesuai kebutuhan pihak yang berkepentingan. Mulai dari proses penangkapan si wartawan karena dijadikan tersangka pemerasan yang sempat diargumentasikan sebagai hoax untuk perlindungan diri. Lanjut ke video viral Ketum PPWI Wilson Lalengke melakukan perobohan papan bunga ucapan terima kasih dari tokoh adat Lampung Timur atas penindakan Satreskrim Polres Lampung Timur, viral kata-kata tak elok dari Sang Ketum PPWI yang mendiskreditkan profesi anggota Polri, proses penangkapan Sang Ketum PPWI yang dinarasikan mengalahkan proses penangkapan teroris padahal dilakukan di Markas Utama Polda Lampung, hingga aksi demo di Mabes Polri dan Dewan Pers. Itu masih diluar upaya mempertanyakan status ‘tokoh adat’ Lampung Timur yang melaporkan Sang Ketum PPWI dan opsi Restoratif Justice yang gagal. Juga mempolisikan Ahli Pers Iskandar Zulkarnain atas penilaiannya yang dinilai merugikan kubu Sang Ketum PPWI.
Digoreng lewat media online dan dunia maya yang justru mengaburkan berita awal tentang perselingkuhan berujung pemerasan tersebut. Mengaburkan fakta ada etika profesi pers yang tidak dilaksanakan. Mengaburkan dapur redaksi media yang ‘dikencingi’ oleh wartawannya sendiri. Mengaburkan profesi wartawan yang digadaikan dan dijadikan kamuflase tindakan pencarian untung untuk keperluan pribadi (beredar informasi terbatas dikalangan media bahwa pola pemerasan yang dilakukan wartawan tersebut bukan untuk pertama kali bahkan sudah jadi profesi). Menguatkan ingatan publik yang sudah lama dapat kabar angin beredar bahwa profesi wartawan bisa dijadikan jalur cepat dapat cuan asal bisa bermain cantik. Bahkan jadi alat tawar menawar supaya Sang Ketum PPWI dan dua anak buahnya tidak diproses hukum alias bebas murni dengan berpegang pada UU Pers dan kode etik jurnalistik. Padahal dua aturan tersebut berlaku saat yang bersangkutan melakukan pekerjaan pers dan menghasilkan produk pers. Padahal profesi wartawan atau Ketua Organisasi Pers bukan berarti kebal dari pelanggaran hukum.
Aturan sudah ada. Dapur Redaksi media juga sudah ada. Tegakkan maka susu sebelanga tidak akan rusak. Untuk penegakan itu maka butuh komitmen penuh dari media atau organisasi persnya. Ibarat moda transportasi kereta api. Rel dan perangkat pekerja sudah ada dan jelas. Keluar dari rel, serangkaian kereta api tersebut dipastikan berdampak. Minimal rusak kalau tidak hancur.
Pastikan No Double Job !
Gaduh seputar penindakan Satreskrim Polres Lampung Timur atas wartawan yang melakukan pemerasan berlabel pemberitaan dimedia online yang berujung penangkapan Ketum PPWI Wilson Lalengke ternyata membuka satu hal yang luput dari pengetahuan masyarakat. Bahkan mata jeli wartawan sekalipun. Ketum PPWI Wilson Lalengke ternyata berprofesi sebagai ASN.
Pada Surat Pemberitahuan Penetapan Tersangka yang dikeluarkan Polres Lampung Timur ditujukan kepada Kejaksaan Negeri Lampung Timur tertera Wilson Lalengke, S Pd, MSc, MA (56) berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) yakni menjadi guru. Saat fakta ini terungkap, cukup geger dikalangan awak media yang mengetahui ada aturan dari Dewan Pers bahwa PNS dilarang jadi wartawan apalagi pimpinan sebuah organisasi pers.
Menjadi PNS atau Aparatur Sipil Negara (ASN) alias abdi negara maka ada seabrek kewajiban dan larangan yang menyertainya. Salah satunya adalah larangan double job seperti yang ada di UU RI Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara. Lalu ada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Lebih detail ke Pasal 4 Angka 6 PP Nomor 53 tersebut berisi setiap PNS dilarang : melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan atau orang lain didalam maupun diluar lingkungan kerjanya dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara.
Rangkap pekerjaan atau bahkan jabatan jelas berpotensi merugikan negara. Misalnya dari sisi jam kerja. Sebagai ASN sudah jelas ada waktu kerja (tergantung institusi dan kebijakan internal institusi tersebut. Umumnya 08.00 – 17.00 WIB). Sementara sebagai wartawan masih merupakan job desk yang tidak ada waktu kerja jelas. Alias lebih dari 24 jam setiap harinya. Jadi sudah pasti tidak fokus karena terbagi antara tugas sebagai ASN dan aktivitas sebagai wartawan. Waktu tak fokus, pikiran dan aktivitas profesional sebagai ASN juga terbagi. Sebagai ASN yang digaji negara untuk pelayanan kepada masyarakat, bagaimana melayani masyarakat dengan maksimal jika tak fokus ?
Ditilik dari UU Pers juga ada kontradiksi.
Tercantum dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 Pasal 6 butir (d) yang berisi : “Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.”
UU Pers mengamanatkan fungsi pers sebagai sosial kontrol terhadap lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif dan lembaga lainnya dan dituntut harus independen. Pers sebagai pengawas, penilai, pengkoreksi dan mengkritisi lembaga atau instansi Pemerintah beserta produknya supaya tidak melenceng dari aturan dan kebutuhan masyarakat. Sementara sebagai ASN artinya sebgai aparat Pemerintah ada kepatuhan terhadap Pimpinan secara berjenjang dan wajib melaksanakan aturan yang berlaku selaku ASN. Jadi bagaimana mau mengkritik sementara dia sendiri adalah objek kritikan itu ? Tetap melakukan, konflik kepentingan pasti hadir.
Jadi sepanjang institusi Pemerintah atau lembaga/organisasi pers dan media tidak menegakkan aturan dengan jelas terkait double job ini, maka bisa dipastikan dimasa depan kasus-kasus semacam Ketum PPWI Wilson Lalengke ini akan terus muncul. (*)
DAFTAR PUSTAKA
Laporan Siska Purnama