SAIBETIK– Sidang lanjutan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilkada Pesawaran 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK) kembali diwarnai kejanggalan. Sidang yang digelar pada Senin, 20 Januari 2025, dipimpin oleh Majelis Hakim Saldi Isra, mengungkap kontradiksi keterangan dari Termohon KPU Pesawaran dan Pihak Terkait, yakni Aries Sandi Darma Putra.
Ketua Harian Forum Masyarakat Pesawaran Bersatu (FMPB), Sumarah, menyoroti banyaknya inkonsistensi dalam pernyataan yang disampaikan KPU Pesawaran dan pasangan calon Aries Sandi. Salah satunya terkait penggunaan Surat Keterangan Pengganti Ijazah (SKPI).
Masalah Validitas SKPI
Menurut Sumarah, KPU Pesawaran menafsirkan SKPI yang diterbitkan oleh Kepala Dinas Pendidikan sebagai dokumen sah sesuai Permendikbud Nomor 29 Tahun 2014. “Padahal, SKPI dibuat berdasarkan surat kehilangan dan tanggung jawab mutlak, bukan sebagai dokumen pengganti yang dapat diverifikasi untuk melacak ijazah persamaan SMA,” tegasnya, Kamis (23/1/2025).
Ia menambahkan, KPU mengklaim penetapan calon bupati telah disetujui bersama Bawaslu Pesawaran, padahal fakta persidangan menunjukkan Bawaslu mempertanyakan adanya pelanggaran administrasi dalam penetapan Aries Sandi sebagai peserta Pilkada 2024.
Kejanggalan Pengakuan Ijazah Hilang
Dalam persidangan, Pihak Terkait Mario Andreansyah menyebut hilangnya ijazah SMA Aries Sandi karena sering berpindah rumah di Jakarta dan Bandarlampung. Namun, laporan kehilangan yang diterbitkan Polresta Bandarlampung menyatakan bahwa dokumen tersebut tercecer di Jalan Gajah Mada, Bandarlampung, pada 1 Maret 2018.
Surat tanda bukti kehilangan bernomor TBL/C-1/2917/VII/2018/LPG/SPKT/RESTA/BALAM tertanggal 16 Juli 2018 juga menyebutkan bahwa laporan dibuat oleh orang lain, yakni Edi Nata Menggala. Fakta ini menimbulkan keraguan atas kebenaran dokumen yang diajukan sebagai syarat pencalonan.
Bantahan SMAN 1 Bandarlampung
Dalam sidang tersebut, Bawaslu Pesawaran menegaskan bahwa SMA Negeri 1 Bandarlampung tidak pernah mengeluarkan ijazah atas nama Aries Sandi. Hal ini semakin memperkuat dugaan adanya manipulasi dokumen dalam proses pencalonan.
“Ini membuktikan bahwa keterangan termohon maupun pihak terkait tidak sesuai dengan fakta di lapangan,” pungkas Sumarah.***