SAIBETIK– Kunjungan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid ke Lampung pada Juli 2025 memantik kritik tajam. Alih-alih membawa harapan penyelesaian, kehadiran menteri justru dianggap hanya menjadi tontonan simbolik di tengah krisis agraria yang kian membusuk, terutama di Kecamatan Anak Tuha, Lampung Tengah.
Direktur LBH Bandar Lampung, Sumaindra Jarwadi, menyebut negara kembali menunjukkan ketidakseriusannya dalam menyelesaikan konflik agraria yang sudah puluhan tahun menindih masyarakat. Dalam rilis resminya, ia menyoroti konflik antara warga tiga kampung—Bumi Aji, Negara Aji Tua, dan Negara Aji Baru—dengan PT Bumi Sentosa Abadi (BSA), yang hingga kini tak kunjung diselesaikan.
“Bukannya membawa solusi, Menteri malah datang hanya untuk meresmikan program legalisasi aset. Tak ada langkah konkret, tak ada dialog langsung dengan korban. Ini bentuk abai terhadap keadilan substansial,” ujar Sumaindra.
Konflik ini berakar dari sejarah panjang penguasaan lahan. Sejak tahun 1972, tanah-tanah yang sebelumnya digarap warga secara turun-temurun mulai diklaim oleh korporasi. Kini PT BSA mengklaim kepemilikan atas hampir 1.000 hektare melalui Hak Guna Usaha (HGU), padahal sebagian besar dari lahan itu sejak 2014 telah dikelola kembali oleh petani lokal.
Mirisnya, meski korporasi hanya menanam sekitar 60–65 hektare sawit, mereka tetap mempertahankan klaim sepihaknya. Sementara masyarakat yang telah lama hidup di atas tanah itu malah digusur paksa. Pada September 2023, negara melalui aparat gabungan menerjunkan 1.500 personel TNI, Polri, dan Satpol PP untuk melakukan penggusuran brutal, menangkap tujuh warga, dan membuat ketakutan menjadi bagian baru dari kehidupan sehari-hari.
“Ini bukan lagi soal sengketa lahan biasa, tapi tentang bagaimana negara lebih memilih berdiri di sisi korporasi, bukan rakyat,” tegas Sumaindra.
Sejak April 2025, ratusan warga dari tiga kampung terus melakukan aksi damai di Kantor Bupati dan DPRD Lampung Tengah. Mereka menuntut pencabutan HGU PT BSA, pembentukan pansus agraria, pembebasan warga yang ditahan, dan penarikan aparat dari lahan sengketa.
Namun hingga kini, respons negara sangat lamban. Tidak ada langkah berarti untuk menyelesaikan akar konflik. LBH Bandar Lampung bersama warga terus mendorong audit hukum atas legalitas HGU yang dianggap cacat serta mendesak mediasi terbuka yang berpihak pada keadilan.
“Kedatangan Menteri Nusron Wahid seharusnya menjadi momen untuk berpihak kepada rakyat. Jika perusahaan yang tak menunaikan kewajiban plasma tetap diberikan perpanjangan HGU, maka reforma agraria hanya tinggal nama,” tutupnya.
Konflik agraria di Anak Tuha adalah cermin dari krisis keadilan agraria di Indonesia: ketimpangan struktural, dominasi korporasi, dan negara yang lebih sering menjadi fasilitator kapital daripada penjaga hak rakyat. Jika reformasi agraria tidak menyentuh substansi keadilan, maka rakyat akan terus jadi korban, dan tanah akan terus menjadi medan perang kepentingan.***