SAIBETIK— R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Institute dan Haidar Alwi Care, memperingatkan bahwa krisis global logam tanah jarang (rare earth) bukan lagi sekadar isu akademik, tapi ancaman nyata terhadap masa depan industri teknologi dunia. Mengutip laporan terbaru dari McKinsey & Company, Haidar menegaskan bahwa Indonesia harus segera bertindak dan mulai dari akar rumput: tambang rakyat.
Menurut McKinsey, permintaan global terhadap neodymium dan praseodymium—logam penting untuk motor listrik, turbin angin, hingga satelit—diproyeksi melonjak hampir tiga kali lipat pada 2035, sementara pasokan dunia hanya bisa memenuhi 70% kebutuhan. Sisanya, 30%, akan menjadi defisit yang membahayakan.
“Kalau McKinsey sudah bicara dengan data global, itu bukan sekadar ramalan. Kita tidak bisa terus diam. Indonesia harus mulai dari potensi lokal—tambang rakyat, koperasi, desa. Itulah fondasi kedaulatan,” tegas Haidar.
Dunia Berebut Logam Magnetik, Indonesia Masih Ragu
Magnet tanah jarang menjadi komponen vital di berbagai perangkat masa depan: dari kendaraan listrik (EV) hingga sistem pertahanan militer. Namun, dominasi China yang menguasai lebih dari 80% proses pemurnian REE membuat banyak negara kini berlomba membangun kemandirian rantai pasok. Ironisnya, Indonesia yang kaya akan mineral ikutan seperti monasit dan bastnaesit masih tertahan di tahap eksplorasi laboratorium.
“Saat dunia fokus hilirisasi dan daur ulang, kita malah sibuk koordinasi antar kementerian yang tak kunjung tuntas,” sindir Haidar.
McKinsey, sebagai lembaga riset bereputasi global, tak sekadar menyampaikan prediksi. Peringatannya soal defisit 30% pasokan REE adalah alarm keras bagi seluruh bangsa, termasuk Indonesia. Ini adalah peluang sekaligus ujian arah kebijakan nasional.
Mulai dari Rakyat: Legalitas, Pelatihan, Hilirisasi
Haidar mengusulkan pendekatan yang inklusif dan berakar dari bawah: pemberdayaan tambang rakyat. Menurutnya, melalui Izin Pertambangan Rakyat (IPR) yang terarah, pemerintah bisa menggerakkan koperasi-koperasi lokal untuk mengeksplorasi logam tanah jarang dari tailing timah (Bangka Belitung), bauksit (Kalimantan), hingga nikel laterit (Sulawesi).
“Limbah-limbah itu menyimpan emas masa depan. Berikan legalitas, latih masyarakat, bangun pusat riset lokal, dan dorong hilirisasi. Kita bisa mulai dari sana,” jelas Haidar.
Usulan Badan Nasional Rare Earth: Serius Kelola Kedaulatan
Untuk memperkuat langkah strategis ini, Haidar menegaskan perlunya Badan Nasional Rare Earth (BNRE). Lembaga ini harus fokus pada:
- Eksplorasi dan pemrosesan logam tanah jarang
- Pemisahan logam NdPr bebas merkuri
- Daur ulang limbah EV dan turbin angin
- Penerapan ekonomi sirkular
“Negara maju sudah bicara circular economy rare earth. Kita bahkan belum punya linear economy-nya. Saatnya generasi ini membalik sejarah,” tegasnya.
Bangkit Sekarang, Atau Jadi Buruh Teknologi Selamanya
Jika Indonesia tak segera membangun peta jalan nasional tanah jarang, kata Haidar, maka krisis global akan menjadi kesempatan emas yang dilewatkan. Kita hanya akan jadi penonton—sekadar penyedia bahan mentah dan pembeli produk mahal dari luar.
“Percayalah pada kekuatan bangsa. Jangan tunggu investor asing atau insinyur luar. Mulailah dari rakyat, dari universitas lokal, dari koperasi desa,” pungkasnya.
“Tanah jarang bukan sekadar komoditas—ini soal kedaulatan masa depan. Kalau McKinsey sudah bicara defisit global, maka giliran kita bicara keberanian nasional,” tutup Haidar Alwi.***