SAIBETIK – Kontroversi mewarnai hasil rekapitulasi suara Pilkada Jakarta 2024. Tim pemenangan RK-Suswono, yang tampaknya belum siap menerima kekalahan, menginstruksikan saksi-saksi mereka untuk tidak menandatangani berita acara hasil rekapitulasi dan mendesak dilakukannya pemungutan suara ulang (PSU) di sejumlah kecamatan.
Sekretaris Tim Pemenangan RIDO, Basri Baco, menjelaskan bahwa tindakan tersebut diambil terkait dugaan kecurangan yang terjadi di beberapa kecamatan. Menurutnya, tim merasa tidak puas dengan hasil rekapitulasi di wilayah-wilayah tertentu dan merasa perlu untuk mengarahkan saksi mereka untuk tidak menyetujui berita acara tersebut.
“Kami mengarahkan saksi di kecamatan-kecamatan yang kami duga terjadi ketidakpuasan dan kecurigaan, agar mereka tidak menandatangani berita acara hasil rekapitulasi,” ujar Basri, tanpa merinci jumlah kecamatan yang dimaksud.
Selain itu, Basri menekankan adanya permintaan PSU di daerah-daerah dengan masalah distribusi formulir C-6. Menurutnya, banyak warga yang tidak menerima undangan pencoblosan tersebut, yang berdampak pada rendahnya angka partisipasi pemilih. Ia juga menyebutkan bahwa sudah ada sejumlah titik PSU yang tercatat, yang laporannya kini sedang dihimpun dan dapat dilihat oleh media.
“Penyelenggaraan pemilu yang bermasalah ini berdampak pada rendahnya partisipasi pemilih. Ini masalah yang serius, dan kami akan terus melaporkan bukti-bukti yang ada,” tegas Basri.
Hasil real count internal RIDO menunjukkan bahwa mereka tertinggal di posisi kedua, dengan perolehan 1.748.714 suara (40,17%). Sementara itu, pasangan Pramono Anung-Rano Karno berada di posisi pertama dengan perolehan 2.145.494 suara (49,28%).
Pramono-Rano telah mendeklarasikan kemenangan mereka di putaran pertama dengan hasil rekapitulasi yang mencatatkan mereka meraih lebih dari 50% suara. Data internal mereka mencatatkan perolehan suara mencapai 2.183.577 (50,07%).
Basri menuding KPU tidak profesional dalam menyelenggarakan pilkada, khususnya terkait pembagian formulir C-6 yang bermasalah. Ia juga mengkritik akurasi data pemilih yang digunakan oleh KPU, yang dianggap tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan.
“Ini menunjukkan ketidakprofesionalan penyelenggara pilkada, terutama PPS dan KPPS, yang seharusnya lebih cermat dan teliti dalam menjalankan tugas mereka,” tegas Basri, menambahkan bahwa masalah ini mengurangi hak rakyat untuk memilih pemimpin mereka.***