SAIBETIK – Pemutihan pajak kendaraan bermotor, yang digadang-gadang bisa menjadi jurus andalan untuk mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD), nyatanya belum juga memberikan efek signifikan. Tali pengerek PAD itu seakan putus di tengah jalan—ditarik dari bawah, dilepas dari atas.
Sementara itu, suara dari kursi dewan kadang terdengar lebih seperti gema traktat ekonomi yang kaku, bukan jeritan rakyat yang melarat. Tapi tentu saja, ini masih dalam ranah kemungkinan. Siapa tahu, para wakil rakyat itu sebenarnya rajin membaca, hanya saja belum sempat bertobat dari gaya hidup yang nikmat.
Pajak: Antara Kewajiban dan Kecemasan
Optimalisasi pajak kendaraan bermotor mungkin niatnya baik. Tapi bagi sebagian rakyat, pajak tak ubahnya seperti kerikil dalam sepatu: kecil tapi bikin susah melangkah. Jalanan makin padat, kendaraan makin banyak, udara makin berat, dan pajak tetap melaju—meski ekonomi di rumah-rumah rakyat justru sedang mogok hidup.
Pajak, katanya, adalah kontribusi. Tapi ketika kontribusi itu membuat hidup semakin sempit, publik mulai bertanya: siapa sebenarnya yang sedang ditarik? Kendaraan atau nurani?
Kenapa Bukan yang Menjual yang Membayar Lebih?
Lucunya, yang menjual kendaraan tak pernah masuk dalam daftar yang dipajaki besar-besaran. Padahal, mereka inilah yang setiap tahun menambah jumlah kendaraan di jalanan, yang secara tidak langsung menyumbang sesak pada paru-paru kota dan kepala para pengemudi.
Bukankah lebih masuk akal jika perusahaan penjual kendaraan ikut menanggung beban pajak lebih besar? Supaya mereka juga berpikir dua kali sebelum memompa pasar dengan mobil-mobil baru tanpa solusi lalu lintas yang baru.
Kita, Rakyat, dan Jalan yang Tak Lagi Ramah
Kita bekerja setiap hari, melintasi jalan yang semakin sesak. Kita belanja dengan uang pas-pasan, sementara anak-anak berangkat sekolah di tengah deru klakson yang tak pernah kenal henti. Lalu ketika ditanya soal solusi, suara rakyat kerap dibalas dengan diam atau debat yang hanya seru di mikrofon, tidak sampai ke dapur.
Kalau begitu, apa gunanya wakil rakyat? Gaji mereka lebar, sedangkan harapan rakyat makin tipis. Barangkali di sinilah letak kepedihan kita: merasa diwakili, tapi tak pernah sepenuhnya diperhatikan.
Seni Berpikir, Bukan Sekadar Mengambil
Pajak kendaraan bermotor bukan sepenuhnya salah. Tapi dalam menagih, negara seharusnya juga belajar memberi: udara yang lebih bersih, jalan yang lebih lancar, dan sistem transportasi publik yang manusiawi.
Sebelum pajak ditarik, tariklah dulu kepercayaan rakyat. Karena sesungguhnya, pembangunan tanpa empati hanya akan menghasilkan jalan-jalan yang tak mengarah ke mana-mana.
Dan untuk kalian yang gerah membaca tulisan ini, mohon maaf bila kata-kata ini menimbulkan gelisah. Tapi kadang, dalam seni berbahasa, kita hanya ingin menulis dengan jujur: bahwa negeri ini milik semua, bukan segelintir yang sedang berkuasa.***