SAIBETIK– Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap terkait proses Pergantian Antarwaktu (PAW) anggota DPR RI. Penetapan ini juga melibatkan Harun Masiku dalam tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama.
Ketua KPK, Setyo Budiyanto, mengungkapkan bahwa Hasto Kristiyanto bersama Harun Masiku diduga memberikan hadiah atau janji kepada Wahyu Setiawan, mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2017-2022. “Tersangka HK (Hasto Kristiyanto) bersama Harun Masiku dan kawan-kawan diduga memberikan suap kepada Wahyu Setiawan terkait proses PAW anggota DPR,” kata Setyo, mengutip surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (Sprin.Dik/153/DIK.00/01/12/2024) yang dikeluarkan pada 23 Desember 2024.
Dalam pengembangan kasus, KPK menemukan bukti yang menunjukkan bahwa sebagian dari uang yang digunakan untuk menyuap Wahyu Setiawan berasal dari Hasto Kristiyanto. “Proses penyidikan mengungkapkan bahwa sebagian uang yang digunakan Harun untuk menyuap berasal dari saudara HK,” ungkap Setyo.
Suap tersebut diduga diberikan agar Harun Masiku bisa menggantikan Nazaruddin Kiemas, anggota DPR terpilih dari Dapil Sumsel I yang meninggal dunia, meskipun secara hukum posisi tersebut seharusnya diberikan kepada Riezky Aprilia, yang memperoleh suara terbanyak kedua dari dapil yang sama. Harun Masiku, yang memperoleh sekitar 5 ribu suara di dapil Sulawesi Selatan, berusaha menggantikan posisi Nazaruddin.
“Seharusnya Riezky Aprilia yang menggantikan Nazaruddin, tetapi Hasto berupaya memenangkan Harun Masiku,” kata Setyo, menjelaskan upaya Hasto yang mencakup pengajuan judicial review pada 24 Juni 2019, serta surat permohonan judicial review yang ditandatangani pada 5 Agustus 2019.
Selain itu, Hasto juga mencoba meyakinkan Riezky Aprilia untuk mengundurkan diri agar Harun bisa menggantikannya, meskipun Riezky menolak tawaran tersebut.
Setyo menegaskan bahwa penetapan tersangka terhadap Hasto ini bukan merupakan bagian dari politisasi, melainkan semata-mata merupakan langkah penegakan hukum yang murni.
“Ini murni penegakan hukum,” tegas Setyo, menanggapi spekulasi yang berkembang terkait proses hukum ini.***