SAIBETIK— Dukungan Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal terhadap pendirian Sekolah Swasta Siger yang diinisiasi Pemkot Bandar Lampung memicu kontroversi. Pasalnya, sekolah yang belum memiliki izin operasional, terdaftar dalam Dapodik, maupun gedung dan sarana prasarana ini sudah menerima siswa baru, terutama dari kalangan pra sejahtera.
Dalam pernyataannya, Gubernur Rahmat menyebut pihaknya “menyambut baik dan mendukung penuh” inisiatif tersebut. Menurutnya, Pemprov akan mendorong permohonan izin pendirian sekolah, selama memenuhi persyaratan teknis. Namun, hingga saat ini, tidak ada kejelasan terkait status hukum maupun kesiapan operasional Sekolah Siger yang telah menjaring pendaftaran untuk empat sekolah sekaligus.
“Siapa pun yang mengajukan, termasuk Pemkot, akan kami dorong. Sepanjang teknisnya terpenuhi, itu kewenangan Dinas Pendidikan Provinsi,” ujar Gubernur Rahmat, Senin (14/7), dilansir dari rmollampung.id.
Sekolah Belum Legal, Puluhan Anak Terlantar
Sekolah Siger masih belum tercatat dalam sistem Dapodik Kemendikbudristek. Belum ada manajemen pendidikan, struktur organisasi, dan MPLS (Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah) pun belum dilaksanakan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran atas nasib puluhan siswa, mayoritas dari keluarga tidak mampu, yang kini berada dalam ketidakpastian pendidikan.
Kondisi ini memicu pertanyaan soal komitmen Pemprov Lampung dalam penegakan aturan pendidikan, terlebih mengingat jenjang SMA berada di bawah naungan pemerintah provinsi sesuai aturan.
Penerobosan Aturan?
Setidaknya tiga regulasi nasional yang dianggap belum dipenuhi dalam pendirian Sekolah Siger, yaitu:
- Permendikbudristek RI Nomor 36 Tahun 2014 tentang pendirian satuan pendidikan;
- Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan;
- Peraturan Pemerintah RI Nomor 66 Tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan.
Selain belum memenuhi syarat administratif dan legal, penggunaan dana APBD untuk sekolah tersebut juga belum mendapat persetujuan DPRD, memperumit aspek akuntabilitas.
Pendidikan atau Proyek Politik?
Alih-alih menjadi solusi pendidikan, Sekolah Siger justru dinilai menjadi eksperimen kebijakan tanpa landasan hukum yang kuat, yang berisiko merugikan siswa. Dukungan Gubernur Lampung atas inisiatif ini, di tengah belum lengkapnya legalitas, menimbulkan kritik dari berbagai kalangan.
Pertanyaannya: Apakah kepentingan pendidikan telah dikalahkan oleh agenda politis? Atau mungkinkah ini justru momentum bagi reformasi sistem pendidikan dengan pendekatan baru yang lebih adaptif?***