SAIBETIK- R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, mengangkat kembali urgensi menjadikan Pasal 33 UUD 1945 sebagai pijakan utama dalam tata kelola tambang nasional. Pernyataan ini merespons keluhan Gubernur Sulawesi Tengah, Anwar Hafid, di hadapan Komisi II DPR RI, yang mengaku tidak memiliki akses terhadap kawasan industri pertambangan di daerahnya sendiri.
Menurut Haidar, situasi ini mencerminkan betapa kekuasaan pengelolaan kekayaan alam telah terpusat, menjauh dari semangat konstitusi. Ia mengingatkan bahwa UUD 1945 bukan sekadar teks hukum, melainkan jiwa bangsa yang menegaskan bahwa kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dalam rapat itu, Gubernur Anwar Hafid menyampaikan bahwa kawasan industri tambang di Morowali telah dikuasai sepenuhnya oleh pemerintah pusat. Izin usaha keluar dari Jakarta, NPWP perusahaan besar pun terdaftar di ibu kota, sementara pemerintah provinsi hanya jadi penonton di tanah sendiri.
Haidar Alwi menilai bahwa ini bukan lagi sekadar persoalan administratif, tetapi menyangkut martabat dan tanggung jawab konstitusional kepala daerah. Ia menyayangkan bahwa gubernur kini diposisikan sebatas simbol politik tanpa kontrol nyata atas sumber daya yang ada di wilayahnya.
Ia menyebut bahwa fenomena provinsi kaya sumber daya namun hanya menerima dana bagi hasil dalam jumlah kecil adalah bentuk ketimpangan yang nyata. Beban lingkungan, sosial, hingga ekonomi ditanggung daerah, sementara keuntungan dibawa keluar oleh korporasi besar.
Pasal 33 UUD 1945, kata Haidar, seharusnya menjadi kompas utama dalam merancang kebijakan pertambangan. Namun berbagai undang-undang turunan seperti UU Minerba, UU Perizinan Berusaha, hingga UU Cipta Kerja justru menjauhkan semangat konstitusi itu.
Haidar menyoroti bahwa sentralisasi fiskal dan pendekatan teknokratis dalam hukum telah menghilangkan ruang bagi otoritas daerah. Oleh karena itu, ia menekankan bahwa perombakan sistem harus menyeluruh, bukan sekadar penyesuaian administratif.
Ia mengusulkan enam langkah konkret untuk membenahi sistem pertambangan nasional agar kembali sesuai dengan amanat konstitusi.
Pertama, merevisi UU Minerba dan UU Perizinan Usaha demi mengembalikan kewenangan pengawasan dan lingkungan kepada daerah. Kedua, pajak tambang harus dikenakan di hilir agar daerah penghasil mendapat nilai tambah industri. Ketiga, NPWP perusahaan tambang wajib terdaftar di lokasi operasional utama.
Langkah keempat adalah pembentukan koperasi daerah sumber daya, di mana masyarakat lokal memiliki saham wajib dalam setiap proyek tambang. Kelima, alokasi Dana Konstitusional Keadilan Sumber Daya sebesar lima persen dari nilai ekspor hasil tambang harus langsung disalurkan ke daerah. Terakhir, pembentukan lembaga audit sosial independen di tingkat provinsi untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas proyek ekstraktif.
Menurut Haidar, pendekatan teknokratis saja tidak cukup. Harus ada kesadaran konstitusional untuk memastikan bahwa rakyat daerah benar-benar dilibatkan dan bukan sekadar dijadikan objek pembangunan.
Ia pun mengajak seluruh pemangku kepentingan, dari eksekutif hingga masyarakat sipil, untuk bersama-sama membangun ulang sistem tambang nasional agar lebih adil dan manusiawi.
Jika UUD 1945 masih kita yakini sebagai dasar negara, kata Haidar, maka inilah saatnya menegakkannya dalam kebijakan nyata, bukan sekadar wacana.***