SAIBETIK- Gelombang laporan terhadap Wali Kota Bandar Lampung, Eva Dwiana, dan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Eka Afriana, kini semakin deras. Keduanya disebut-sebut tengah menghadapi berbagai tuduhan terkait praktik dinasti kebijakan di lingkungan Pemerintah Kota Bandar Lampung. Laporan-laporan itu dilayangkan ke sejumlah lembaga penting, mulai dari Kepolisian Daerah (Polda) Lampung, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), hingga Kejaksaan Agung (Kejagung), menandakan seriusnya dugaan penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran etika pemerintahan di tingkat daerah.
Sumber internal menyebutkan bahwa laporan tersebut berawal dari serangkaian kebijakan yang dinilai tidak transparan dan sarat kepentingan pribadi. Beberapa keputusan strategis yang diambil oleh Pemkot disebut lebih berpihak pada kelompok tertentu yang memiliki hubungan dekat dengan lingkar kekuasaan, ketimbang pada kepentingan masyarakat luas. Praktik seperti ini dianggap melanggengkan sistem “dinasti kekuasaan” yang bertentangan dengan semangat reformasi birokrasi.
Sejumlah aktivis antikorupsi di Lampung menilai, dugaan pelanggaran yang dilakukan bukan hanya mencederai prinsip keadilan, tetapi juga dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap integritas lembaga pemerintahan. Mereka mendesak agar aparat penegak hukum bertindak cepat dan tidak pandang bulu dalam menindaklanjuti laporan ini. Tekanan publik pun semakin meningkat, terutama setelah berbagai dokumen dan bukti pendukung mulai beredar di media sosial dan forum masyarakat sipil.
Laporan ke Kemendagri sendiri menyoroti dugaan pelanggaran tata kelola pemerintahan, seperti penyalahgunaan jabatan dan campur tangan politik dalam proses administrasi. Sementara laporan ke Polda dan Kejagung menyoroti kemungkinan adanya pelanggaran hukum yang lebih serius, termasuk penyalahgunaan anggaran serta praktik nepotisme yang bertentangan dengan undang-undang pelayanan publik.
Pengamat politik lokal menilai, kasus ini bisa menjadi titik balik bagi pemerintahan Eva Dwiana. Jika tuduhan terbukti, dampaknya bisa meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinannya dan bahkan mengguncang stabilitas politik di Bandar Lampung menjelang tahun-tahun politik ke depan. Selain itu, isu ini bisa menjadi preseden penting dalam upaya menegakkan meritokrasi di lingkungan birokrasi daerah yang kerap kali masih diwarnai oleh kepentingan keluarga atau kelompok tertentu.
Meski hingga kini pihak Pemkot belum memberikan klarifikasi resmi yang memadai, publik berharap kasus ini diusut tuntas dan diselesaikan secara transparan. Aparat penegak hukum diharapkan bisa bersikap independen dan memastikan setiap laporan ditangani dengan prosedur yang sesuai. Kasus ini menjadi simbol penting perjuangan melawan budaya dinasti kebijakan yang bisa merusak fondasi keadilan dan pemerintahan yang bersih.***







