SAIBETIK— Dunia pendidikan di Kota Bandar Lampung kembali diguncang dengan terbongkarnya praktik penyelenggaraan SMA swasta ilegal yang disebut-sebut berada di bawah kendali langsung Wali Kota Eva Dwiana. Skandal ini mencuat ke publik dan menuai sorotan tajam karena bukan hanya melanggar undang-undang, tetapi juga berpotensi menggerus keuangan daerah melalui penggunaan APBD untuk menopang kegiatan sekolah yang belum memiliki legalitas hukum.
Kasus ini bermula dari pengoperasian sebuah SMA swasta yang ditengarai berada di bawah naungan Yayasan Siger Prakarsa Bunda. Hingga kini, izin operasional yayasan tersebut masih tersendat di Kementerian Hukum dan HAM, sehingga status sekolah yang dijalankannya jelas ilegal. Namun, ironisnya, sekolah ini justru mendapat restu politik dari tokoh besar Lampung, seperti Ketua DPD Gerindra sekaligus Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal (RMD), serta Ketua DPRD Kota Bandar Lampung, Bernas. Dukungan politik inilah yang membuat publik bertanya-tanya: mengapa sekolah tanpa izin bisa tetap beroperasi dengan legitimasi dari pejabat tinggi?
Sejumlah wali murid mengungkap bahwa ketua yayasan yang menaungi sekolah ilegal tersebut adalah mantan Kepala Dinas Pendidikan Kota Metro. Namun, nama dan identitas lengkap sosok ini seolah sengaja ditutup-tutupi, menimbulkan dugaan adanya rekayasa sistematis untuk menyamarkan siapa sebenarnya aktor intelektual di balik pendirian SMA tersebut.
Lebih jauh, praktik pengoperasian SMA ilegal ini secara terang-terangan melanggar Permendikdasmen Nomor 1 Tahun 2025. Regulasi itu mengatur bahwa redistribusi guru ASN hanya boleh dilakukan untuk sekolah yang sudah memiliki izin operasional, terdaftar di Dapodik minimal tiga tahun, serta menjalankan kurikulum resmi. Faktanya, SMA ini sama sekali tidak memenuhi persyaratan tersebut, namun tetap menggunakan tenaga guru ASN maupun honorer SMP Negeri yang seharusnya fokus pada sekolah induk masing-masing. Publik menduga ada unsur intimidasi maupun iming-iming insentif tertentu agar para guru mau mengajar di sekolah ilegal itu.
Saat beberapa jurnalis mencoba melakukan konfirmasi pada Senin, 2 September 2025, pihak sekolah terkesan menghindar. Salah seorang guru bahkan menyatakan, “Kalau soal itu, kami harus izin dulu ke Plt Kepala Sekolah. Saat ini Kepala Sekolahnya masih Plt.” Jawaban ini menimbulkan kecurigaan karena status kepala sekolah ternyata dijabat oleh seorang PNS yang masih aktif sebagai kepala sekolah SMP Negeri. Kondisi ini jelas menyalahi aturan Aparatur Sipil Negara dan menguatkan dugaan penyalahgunaan jabatan.
Skandal ini semakin serius karena Pemkot Bandar Lampung dikabarkan berencana mengalihfungsikan Terminal Tipe C di Panjang menjadi gedung SMA ilegal tersebut dengan memanfaatkan dana APBD. Artinya, uang rakyat yang seharusnya digunakan untuk kepentingan publik dialihkan untuk menopang kegiatan pendidikan yang jelas-jelas melanggar hukum. Jika benar terjadi, praktik ini bisa masuk kategori penyalahgunaan anggaran dan membuka peluang terjadinya tindak pidana korupsi.
Pakar hukum pendidikan menilai, langkah Eva Dwiana dan jajarannya jelas bertentangan dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang ini secara tegas melarang penyelenggaraan sekolah tanpa izin, dengan ancaman pidana hingga 10 tahun penjara dan denda Rp1 miliar. Ditambah lagi, tindakan ini juga menyalahi Permendikdasmen No. 1 Tahun 2025 yang ditandatangani langsung oleh Menteri Pendidikan Abdul Mu’ti.
Kini publik mendesak aparat penegak hukum untuk segera turun tangan. Skandal SMA ilegal ini bukan hanya soal izin operasional, melainkan juga menyangkut penyalahgunaan wewenang, manipulasi ASN, hingga indikasi korupsi penggunaan dana APBD. Jika dibiarkan, praktik semacam ini akan menjadi preseden buruk bagi dunia pendidikan di Lampung, sekaligus merusak integritas penyelenggaraan pemerintahan daerah.***