SAIBETIK– Rencana Pemerintah Kota Bandar Lampung mengalihfungsikan Terminal Panjang menjadi gedung Sekolah Swasta Siger memicu kontroversi publik. Di tengah minimnya urgensi dan banyaknya sekolah swasta yang justru tutup atau kekurangan siswa, kebijakan ini dinilai janggal dan tidak memiliki dasar kuat yang jelas.
Program ini merupakan inisiasi langsung dari Wali Kota Eva Dwiana, meski status yayasan serta sumber pendanaan sekolah tersebut masih belum transparan. Padahal, jenjang SMA/SMK berada di bawah kewenangan Pemerintah Provinsi Lampung, bukan kota/kabupaten. Saat ini, hanya sekitar 60 calon siswa yang mendaftar di Sekolah Siger—angka yang belum mencerminkan kebutuhan mendesak pembangunan sekolah baru.
Seorang wali murid, Aminah, mengaku keliru mendaftarkan anaknya di Sekolah Siger karena mengira sekolah tersebut adalah sekolah negeri.
“Saya pikir ini sekolah negeri, ternyata swasta. Mungkin saya akan pindahkan anak saya ke sekolah lain,” ujarnya saat hari pertama pendaftaran (9 Juli 2025).
Namun di sisi lain, ada juga warga seperti Edi Gunawan Surya dari Kota Baru yang antusias.
“Begitu tahu ada pendaftaran dari grup WA jam 6 pagi, saya jam 9 sudah sampai lokasi karena takut kehabisan kuota,” katanya.
Meskipun menuai respons beragam dari masyarakat, sejumlah pihak mempertanyakan urgensi dan legalitas kebijakan ini. Saat ini, tercatat lebih dari 100 sekolah swasta di Bandar Lampung tengah menanti bantuan dan dukungan pemerintah karena kesulitan bertahan.
Alih-alih memperkuat sekolah yang ada, Pemkot justru memaksakan pendirian sekolah baru yang berpotensi menggunakan dana dari APBD atau CSR, tanpa transparansi anggaran dan tanpa rekomendasi dari sekolah sekitar seperti yang diwajibkan oleh regulasi.
Lebih jauh lagi, rencana ini diduga menabrak berbagai regulasi, termasuk:
- Permendikbudristek No. 40 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Sekolah oleh Pemerintah Daerah.
- Persyaratan pembukaan sekolah baru yang mewajibkan rekomendasi tertulis dari lima sekolah sekitar.
- Belum adanya persetujuan resmi DPRD Kota Bandar Lampung dalam paripurna untuk pembiayaan sekolah tersebut.
Sebagian kalangan menilai langkah ini bukanlah solusi, melainkan bentuk “kebijakan depresi” akibat tekanan pemberitaan media terhadap pengelolaan aset daerah yang terbengkalai dan pelanggaran sejumlah aturan oleh Pemkot.
Jika benar ingin membangun pendidikan, seharusnya Pemkot lebih fokus pada optimalisasi sekolah yang ada, peningkatan kualitas guru, dan penyaluran bantuan untuk sekolah-sekolah swasta yang tengah kesulitan, bukan malah memaksakan pendirian sekolah baru yang belum tentu menjawab kebutuhan riil masyarakat.***