SAIBETIK– Dalam rangka memperingati Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia), sejumlah ahli mengungkapkan bahwa salah satu pemicu utama tingginya tingkat korupsi kepala daerah adalah biaya besar yang harus dikeluarkan dalam pemilihan kepala daerah (pilkada).
Kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah di Indonesia masih tinggi. Data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan, antara 2004 hingga 2024, setidaknya 196 kepala daerah telah ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bahkan, dalam beberapa waktu terakhir, KPK juga menetapkan dua penjabat (PJ) kepala daerah yang berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai tersangka korupsi.
Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Djohermasnyah Djohan, menjelaskan ada tiga faktor yang menyebabkan perilaku koruptif di daerah masih marak.
Pertama, ia menilai strategi pemberantasan korupsi yang ada selama ini tidak efektif. Kedua, tata kelola pemerintahan yang buruk turut memperparah masalah korupsi di daerah. Terakhir, sistem pilkada yang membutuhkan biaya besar menjadi faktor utama kepala daerah terjerat kasus korupsi.
“Sistem pilkada kita itu masih bermasalah, terutama soal biaya yang sangat besar. Biaya tinggi berarti modal politik yang besar, dan ini membuka ruang bagi perilaku korupsi,” ungkap Djohermasnyah.
Ia juga menyoroti fenomena sejumlah penjabat kepala daerah yang terjerat korupsi meskipun mereka tidak memerlukan modal politik untuk menduduki jabatan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa korupsi sudah merambah ke seluruh lini pemerintahan, bahkan ke dalam dunia birokrasi.
“Korupsi sudah menjadi perilaku yang merajalela. Ini tidak hanya terjadi di eksekutif, legislatif, atau yudikatif, tapi juga masuk ke dalam birokrasi dan bahkan dunia pendidikan,” tambahnya.
Menurut Djohermasnyah, untuk mengatasi perilaku koruptif ini, perlu ada perbaikan dalam strategi pemberantasan korupsi. Salah satunya adalah dengan memperkuat peran KPK, yang saat ini cenderung dilemahkan. Ia menilai, revisi Undang-Undang KPK yang menempatkan lembaga antikorupsi ini di bawah eksekutif, justru akan mengurangi efektivitasnya.
“Dengan revisi UU KPK yang menempatkan KPK di bawah presiden, pemberantasan korupsi kita justru melemah. Ini sangat disayangkan,” tegasnya.
Peringatan Hakordia tahun ini mengingatkan kita bahwa upaya pemberantasan korupsi harus lebih diperkuat, terutama di daerah, agar kasus-kasus serupa dapat diminimalisir di masa mendatang.***