SAIBETIK- Pemeriksaan terhadap Muryanto Amin, Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) sekaligus sahabat dekat Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution, mendesak untuk segera dijadwalkan ulang oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kepastian hukum atas status rektor yang juga dikenal sebagai penasihat politik menantu Presiden Jokowi itu sangat ditunggu oleh civitas akademika, alumni, dan masyarakat Sumut.
Sebagai perguruan tinggi negeri yang membawa nama daerah, integritas USU tak hanya menyangkut institusi pendidikan, tetapi juga menjadi pertaruhan nama baik warga Sumut. Karena itu, sikap mangkir Muryanto dari panggilan KPK sebelumnya menimbulkan tanda tanya besar:
- Mengapa seorang akademisi tidak menunjukkan keteladanan dengan memenuhi panggilan hukum?
- Apa alasan genting yang membuatnya absen tanpa keterangan resmi?
Rektor seharusnya menjadi teladan moral dan hukum, bukan justru menambah polemik.
Jangan Gunakan Fasilitas USU untuk Urusan Pribadi
Dalam memenuhi panggilan KPK, Muryanto tidak dibenarkan menggunakan anggaran, mobil dinas, atau fasilitas lain milik USU. Pemeriksaan terkait kasus dugaan korupsi proyek jalan Rp231,8 miliar dengan suap sekitar Rp41 miliar itu tidak ada kaitannya dengan jabatannya sebagai rektor.
Hukum Harus Tegak Tanpa Pandang Bulu
Rangkaian pemeriksaan kasus ini sudah berlarut-larut, sementara KPK juga menangani kasus lain yang melibatkan pejabat nasional. Namun, siapa pun yang dipanggil—termasuk Muryanto—wajib hadir. Tidak ada seorang pun yang boleh kebal hukum hanya karena memiliki akses ke lingkar kekuasaan. Jika masih mangkir, penjemputan paksa sesuai prosedur hukum adalah langkah yang harus ditempuh.
Desakan Nonaktifkan Rektor USU
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi diminta segera menonaktifkan Muryanto Amin agar fokus menghadapi proses hukum di KPK. Statusnya sebagai pejabat publik membuat langkah ini penting demi menjaga nama baik kampus dan dunia pendidikan tinggi.
USU adalah simbol kebanggaan Sumut. Karena itu, penyelesaian kasus ini bukan sekadar soal individu, tetapi juga menjaga marwah lembaga pendidikan agar tetap bersih, transparan, dan bebas dari intervensi politik.***