SAIBETIK— Revitalisasi Pasar Pasir Gintung yang digadang-gadang menjadi “ikon modernisasi pasar rakyat” justru menuai sorotan tajam. Dengan anggaran negara sebesar Rp38 miliar, proyek yang diresmikan Presiden Jokowi pada 26 Agustus 2025 kini jadi pertanyaan publik: apakah ini pembangunan yang menyentuh rakyat, atau sekadar pencitraan jelang akhir masa jabatan?
Cikal bakal proyek ini dimulai saat kunjungan Jokowi ke pasar Pasir Gintung pada Mei 2023. Di sana, ia menyapa pedagang, menyimak keluhan soal fasilitas pasar yang kurang memadai, dan langsung menginstruksikan Kementerian PUPR untuk merevitalisasi.
Sinyal itu dieksekusi cepat. Direktur Prasarana Strategis Ditjen Cipta Karya, Essy Asiah, awalnya menyebut anggaran hanya Rp24 miliar (25 Januari 2024). Namun saat peresmian oleh Presiden, angka membengkak menjadi Rp38 miliar.
Dan hasilnya?
Lantai dua pasar dibiarkan kosong. Tidak ada aktivitas jual beli, tak ada aroma cabai atau riuh tawar-menawar. Yang tampak hanyalah keramik pucat, rolling door tertutup, dan udara lengang. Tak ada pedagang ikan, daging, kopi, apalagi jejak becek khas pasar tradisional.
Uang Sebanyak Itu, Untuk Apa?
Hitungan kasar saja, jika lantai dua menyerap 1/3 anggaran (sekitar Rp12,6 miliar), maka bisa jadi pembangunan tersebut jadi proyek “mewah” yang gagal menyentuh esensi fungsi pasar.
Padahal, dengan Rp12,6 miliar, pemerintah bisa:
- Membangun 5 sekolah dasar baru lengkap dengan toilet dan ruang guru (1,5 miliar x 5).
- Memberikan beasiswa penuh untuk 500 siswa miskin selama setahun (Rp3 miliar).
- Membeli 2 unit ambulans dan membiayai 20 posyandu lengkap (Rp1,5 miliar).
- Membangun 10 sumur bor di desa rawan kekeringan (Rp1 miliar).
- Memberikan pelatihan dan modal kepada 200 UMKM kecil (Rp2 miliar).
- Merenovasi 100 rumah tak layak huni (Rp3 miliar).
Semua itu adalah contoh pembangunan yang menyentuh langsung kehidupan rakyat. Bukan keramik putih yang dipijak sepi.
Pasar Itu Sederhana, Jangan Diswalan-kan
Pasar rakyat tidak butuh “kemewahan”. Ia butuh fungsionalitas: drainase lancar, atap yang tidak bocor, dan ruang yang ramah bagi pedagang dan pembeli. Mewahnya bentuk tanpa roh aktivitas hanyalah monumen sunyi yang dibangun dari uang rakyat.
Ketika revitalisasi tidak melibatkan aspirasi pedagang, maka hasilnya bisa seperti Pasir Gintung saat ini: modern secara fisik, tapi hampa secara fungsi.
Apakah ini simbol pembangunan menjelang lengser yang hanya mengandalkan instruksi atas, tanpa mendengar suara bawah?
Wajar jika muncul pertanyaan:
Apakah benar ini “revitalisasi”, atau hanya penghabisan anggaran negara yang sia-sia?***