SAIBETIK- Partai NasDem akhirnya resmi mencopot Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dari jabatannya sebagai anggota DPR RI Fraksi NasDem. Langkah ini disampaikan melalui siaran pers yang ditandatangani langsung oleh Ketua Umum Surya Paloh bersama Sekretaris Jenderal Hermawi. Keputusan yang sejatinya dianggap tegas ini justru menyulut polemik baru di tengah masyarakat.
Bagi publik, pemecatan ini bukanlah tanda ketegasan politik yang patut diapresiasi, melainkan gambaran nyata betapa lambannya partai dalam merespons situasi. Mengapa tindakan ini baru dilakukan setelah kemarahan rakyat membuncah di berbagai ruang publik? Mengapa langkah ini tidak diambil sejak awal, ketika integritas dan reputasi parlemen seharusnya dijaga dengan konsisten?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut kini menjadi sorotan tajam. Publik melihat NasDem seakan lebih sibuk membaca arah opini publik ketimbang menjaga marwah politik dan institusi legislatif. Kondisi ini mencerminkan kelemahan dalam proses seleksi kader, yang seharusnya sejak awal mampu memastikan bahwa sosok yang duduk di Senayan benar-benar layak disebut sebagai wakil rakyat.
Dalam kacamata masyarakat, keputusan ini bukan prestasi partai, melainkan bukti nyata bahwa suara rakyat masih memiliki daya tekan besar terhadap elite politik. Jika tidak ada desakan dan amarah publik, besar kemungkinan keputusan ini akan tertunda lebih lama, atau bahkan tidak diambil sama sekali. Hal ini menunjukkan betapa partai politik di Indonesia masih sering bergerak hanya ketika rakyat sudah muak dan hilang kesabaran.
Carut-marut politik semacam ini semakin mempertegas betapa rentannya demokrasi kita terhadap praktik transaksional. Rakyat sudah lelah dengan drama politik yang lebih sering mementingkan citra dan kepentingan kelompok dibandingkan nasib masyarakat luas. Seharusnya, partai sebesar NasDem memiliki keberanian untuk bertindak tegas sejak awal, tanpa harus menunggu badai kritik datang dari masyarakat.
Kini, tantangan yang dihadapi NasDem bukan hanya memperbaiki citra, tetapi juga memulihkan kembali kepercayaan publik yang telah runtuh. Keputusan ini, betapapun dianggap sebagai langkah maju, tetap menyisakan luka bagi rakyat yang merasa bahwa suara mereka selama ini diabaikan hingga akhirnya dipaksa untuk berteriak lantang.
Maka jelas, pemecatan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach bukanlah kemenangan partai politik, melainkan kemenangan rakyat yang berani bersuara. Rakyat sekali lagi membuktikan bahwa kekuatan opini publik mampu mengguncang singgasana elite yang selama ini terkesan kebal kritik. Dan inilah pengingat keras bagi semua partai: jangan menunggu rakyat marah, bertindaklah sejak awal demi menjaga kehormatan demokrasi.***