Oleh: Kiagus Bambang Utoyo
SAIBETIK- Di tengah hiruk pikuk teknologi dan riuh rendah dunia digital, sebuah pertanyaan mendasar kembali menggema: apa makna sejati dari literasi dalam hidup manusia? Bukan sekadar aktivitas akademik, tetapi ia adalah jalan ruhani yang menuntun manusia mengenal diri, semesta, dan Sang Pencipta.
Seruan pertama wahyu Ilahi — “Iqra’!” — tak hanya menjadi tonggak sejarah kenabian, tetapi juga menjadi kompas literasi spiritual umat manusia. “Bacalah,” bukan sekadar ajakan membuka halaman, tapi membuka kesadaran.
“Literasi adalah zikir dalam fikir, dan fikir dalam zikir. Ia menyatukan akal dan hati, ilmu dan hikmah,” tulis Kiagus Bambang Utoyo dalam refleksi mendalamnya.
Literasi: Jalan Menuju Tuhan
Dari Adam hingga Muhammad SAW, sejarah kenabian adalah narasi tentang pencarian dan penyampaian ilmu. Nabi Adam diajari nama-nama; Ibrahim membaca tanda-tanda langit; Musa menerima kitab sebagai pedoman; Isa menghidupkan ruh lewat firman; dan Muhammad SAW menutup rangkaian itu dengan wahyu yang mendidik peradaban.
Literasi, dalam pandangan ini, bukan semata kemampuan teknis membaca dan menulis. Ia adalah proses menyelami ayat-ayat semesta dan menemukan kembali jati diri insani di bawah cahaya Ilahi.
Krisis Makna dalam Dunia Digital
Kehidupan modern seringkali menciptakan ilusi literasi. Kita membaca cepat, menulis banyak, tetapi kehilangan makna. Literasi terjerumus dalam formalitas, jauh dari spiritualitas.
“Banyak yang fasih menyusun kata, tetapi belum mampu menyusun hidup yang bermakna,” tulis Utoyo dalam artikelnya.
Inilah paradoks zaman kita: bangsa yang bangga dengan teknologi pendidikan, tetapi alpa memaknai literasi sebagai laku hidup.
Literasi sebagai Ibadah Intelektual
Dalam khazanah Islam klasik, literasi adalah bentuk ibadah. Menulis adalah amal yang kekal, membaca adalah perenungan yang mencerahkan. Para ulama terdahulu bukan hanya pengumpul teks, tapi penyalur hikmah.
Literasi sejati tidak lahir dari keinginan untuk viral atau diakui, tetapi dari kesadaran untuk menebar cahaya.
Membangun Bangsa Pembaca Makna
Jika ingin membangun bangsa yang beradab, literasi tak cukup menjadi program pendidikan — ia harus menjadi napas kehidupan. Literasi yang kita bangun harus mampu memuliakan akhlak, bukan hanya menumpuk pengetahuan.
Sebagaimana hidup adalah kitab yang sedang ditulis, setiap perbuatan kita adalah kalimat, dan akhir hayat adalah epilog yang akan dibacakan di hadapan Sang Pengarang.***