SAIBETIK – Pernyataan Kepala Bidang Penataan Ruang Laut (PRL) Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung, terkait proses perizinan jaring dan pelampung yang belum selesai, memicu kekecewaan dari nelayan dan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Pesawaran versi Munas Bogor. Mereka menilai pernyataan tersebut tidak menggambarkan situasi yang sebenarnya, terutama terkait dengan ketidakhadiran izin dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
“Sudah jelas tidak ada izin PKKPRL dari KKP, jadi pernyataan Ibu Sadariah, Kabid PRL, yang mengatakan sedang berproses, menunjukkan bahwa izin tersebut belum terbit,” tegas Ketua HNSI Pesawaran, Marpen Efendi, Senin, 20 Januari 2025.
Marpen menambahkan bahwa seharusnya pihak Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung segera menindaklanjuti dan mengeksekusi permintaan dari nelayan untuk membongkar jaring yang terpasang di perairan Teluk Pandan. Namun, kata Marpen, Kabid PRL malah menyebutkan bahwa izin tersebut masih dalam proses.
“Izin PKKPRL itu belum dikeluarkan dan belum diteken oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, itu yang jadi masalah,” lanjutnya.
Keberadaan pagar laut berupa jaring dan pelampung tersebut, menurut Kabid PRL DKP, adalah milik Lampung Marriot Resort dan SPA yang dipasang untuk mencegah sampah memasuki perairan di sekitarnya. Namun, Marpen menilai tindakan ini merugikan nelayan tradisional yang terganggu aksesnya untuk mencari ikan.
“Bukan hanya soal izin, tapi prinsip keadilan juga harus diperhatikan. Nelayan tradisional harus diberi ruang untuk beraktivitas di laut,” ujarnya.
Menurut Marpen, jaring tersebut sudah terpasang sejak proses pembangunan hotel hingga beroperasi. Perubahan-perubahan aturan mengenai izin PKKPRL menjadi alasan HNSI versi Munas Bogor untuk mempermasalahkan pemasangan tersebut.
“Sangat merugikan nelayan, waktu mereka terbuang untuk menghindari jaring, dan pendapatan mereka berkurang karena akses ke titik pancing terganggu,” ungkapnya.
Di sisi lain, Marpen juga menanggapi pernyataan Kabid PRL yang menyebutkan bahwa Lampung Marriot Resort dan SPA telah membuka akses bagi nelayan melalui enam pintu pada jaring pengaman tersebut. Namun, nelayan melaporkan bahwa meskipun pintu sudah dibuka, mereka tetap dilarang mendekati jaring.
“Memang pintu sempat dibuka, tapi begitu nelayan mendekat, mereka langsung dilarang. Itu bukti bahwa akses untuk nelayan tidak benar-benar terbuka,” kata Marpen.
Marpen menyatakan bahwa HNSI tidak akan menghalangi kepentingan pemerintah jika izinnya benar-benar adil bagi semua pihak. Namun, ia berharap agar masalah ini segera dituntaskan.
“Kami mendukung jika izin itu benar-benar berkeadilan, agar semua pihak, termasuk nelayan, bisa mendapatkan haknya,” katanya.
Sementara itu, Kabid PRL DKP Provinsi Lampung, Sadariah, S.P., MM, menyebutkan bahwa sosialisasi telah dilakukan kepada masyarakat nelayan setempat, yang dihadiri oleh kepala desa. Ia mengimbau agar wartawan mengonfirmasi langsung dengan kepala desa terkait permasalahan ini.
“Silakan cros-check ke Kepala Desa Hurun dan Kepala Desa Sukajaya Lempasing untuk informasi lebih lanjut,” pungkasnya.***