SAIBETIK- Pada Jum’at, 5 Desember 2025, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) angkat suara terkait pernyataan kontroversial Anggota DPR RI Komisi IV, Firman Subagyo dari Fraksi Golkar, yang menyalahkan Reforma Agraria sebagai penyebab kerusakan hutan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Pernyataan tersebut disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni.
KPA menegaskan, klaim Firman Subagyo itu keliru dan berpotensi menyesatkan publik. Faktanya, Reforma Agraria yang sesuai mandat konstitusi, Tap MPR IX/2001 tentang Pembaruan Agraria, dan UU Pokok Agraria (UUPA) 1960 belum dijalankan secara menyeluruh di Sumatera. Kerusakan hutan dan bencana ekologis lebih disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang membiarkan monopoli tanah oleh korporasi besar, praktik deforestasi masif, dan alih fungsi lahan yang tidak terkendali.
Alih-alih menyalahkan Reforma Agraria, Anggota DPR seharusnya fokus mengawasi kebijakan pro-korporasi yang merusak lingkungan. Selama ini, Pemerintah dan legislatif memberi kemudahan konsesi kehutanan, perkebunan sawit, tambang, food estate, PSN, KEK, dan IKN, yang berujung pada penggusuran masyarakat adat dan kerusakan ekosistem yang luas. KPA menyoroti fakta bahwa 58% tanah di Indonesia dikuasai segelintir korporasi dan elit politik, menyebabkan ketimpangan agraria yang ekstrem, kemiskinan meluas, dan menurunnya daya dukung alam.
Moratorium konsesi yang telah lama disuarakan rakyat sering diabaikan, sehingga praktik perampasan tanah dan perusakan hutan tetap berjalan. Dalam RDP Hari Tani Nasional pada 24 September 2025, KPA menyampaikan sembilan tuntutan perbaikan agraria-SDA, termasuk moratorium penerbitan izin konsesi perkebunan, kehutanan, tambang, food estate, KEK, IKN, dan pengadaan tanah rakyat. Tuntutan ini seharusnya menjadi perhatian serius DPR dan Pemerintah, namun orientasi politik yang mengutamakan kepentingan ekonomi korporasi sering mengabaikan aspirasi rakyat.
KPA juga menyoroti sejarah kerusakan hutan di Sumatera, seperti pemberian konsesi kepada PT Indorayon (sekarang PT Toba Pulp Lestari) sejak 1984. Konsesi ini merusak ratusan ribu hektar hutan, menimbulkan banjir, longsor, dan pencemaran, serta merampas wilayah adat masyarakat Tano Batak. Puluhan tahun upaya masyarakat menuntut penutupan konsesi tidak digubris lintas rezim, baik Orde Baru maupun Reformasi.
Pernyataan Firman Subagyo yang menuduh Reforma Agraria sebagai biang kerusakan hutan dianggap KPA sebagai miskonsepsi serius. Reforma Agraria sejati justru bertujuan menertibkan konsesi, menata ulang penguasaan tanah, dan memperbaiki tata kelola agraria-SDA untuk mengatasi konflik agraria dan kerusakan lingkungan.
Saat ini, Indonesia menghadapi ketimpangan penguasaan tanah yang parah. Ratusan korporasi menguasai jutaan hektar tanah di sektor kehutanan, perkebunan, dan tambang. Pembukaan hutan untuk proyek food estate terus berlangsung, mengancam keberlanjutan ekosistem dan hak-hak rakyat.
KPA menekankan, bencana ekologis di Sumatera bukan karena Reforma Agraria, melainkan karena Reforma Agraria yang sejati belum dijalankan. Monopoli tanah dan hutan oleh korporasi dibiarkan terus berjalan, melanggar prinsip keadilan agraria. Pernyataan anggota DPR yang menuduh Reforma Agraria sebagai penyebab bencana justru menunjukkan rendahnya literasi politik dan pemahaman tentang agraria di kalangan legislatif.
Reforma Agraria adalah usaha sistematis negara untuk melindungi, memulihkan, dan mengakui hak masyarakat atas tanah dan wilayah hidup mereka, menyelesaikan konflik agraria, memulihkan lahan kritis, dan menjaga fungsi ekologis melalui pendekatan lokal. Gagal menjalankan Reforma Agraria berdampak pada kerusakan lingkungan, konflik sosial, dan ketimpangan agraria yang semakin parah.***





