SAIBETIK— Rencana Pemerintah Kota Bandar Lampung yang ingin mengalihfungsikan Terminal Panjang menjadi Kantor Kecamatan dan Sekolah Swasta Siger memicu gejolak di kalangan warga dan pedagang setempat. Alih-alih menjadi solusi, langkah ini justru menimbulkan sederet pertanyaan hingga dugaan praktik pungutan liar (pungli) oleh oknum jajaran Pemkot sendiri.
Terminal Panjang yang selama ini menjadi tempat bernaung para pedagang kecil, sopir angkutan, dan pelaku usaha mikro, mendadak berubah jadi lahan konflik kebijakan. Pada Sabtu, 26 Juli 2025, sejumlah warga mengaku kaget dengan tindakan sepihak Wali Kota Eva Dwiana yang tiba-tiba memerintahkan pembongkaran tanpa dialog terbuka.
“Kami bingung, tiba-tiba beliau datang, tunjuk-tunjuk, lalu bilang ‘bongkar’. Bahkan sempat menyuruh warga pulang ke Medan. Kami merasa diperlakukan tidak manusiawi,” ungkap salah satu pedagang.
Warga berharap pemimpin daerah hadir dengan sikap merangkul, bukan sekadar menggertak dan meninggalkan ketidakjelasan. Apalagi, sebagian besar kios di Terminal Panjang sudah ditempati puluhan tahun, bahkan ada yang mengaku menyewa dengan sistem transfer kepada pengelola yang dikaitkan dengan nama almarhum H. Kurniawan.
Menariknya, meski Wali Kota membantah adanya praktik pungutan dalam unggahan Instagram pribadinya, sejumlah pengakuan dari pedagang menyebut mereka rutin menyetorkan uang ratusan ribu rupiah per bulan ke oknum pejabat di lingkup Unit Pelaksana Teknis (UPT). Bahkan, beberapa menyebut jumlah setoran bisa lebih dari lima lokasi kios.
“Enggak, enggak ada sewa-sewa. Gratis semua,” ucap Eva Dwiana dalam video yang diunggahnya. Namun, fakta di lapangan berbeda.
Konflik ini membuka tabir kemungkinan adanya praktik pungli yang selama ini ditutup-tutupi. Jika benar ada aliran dana tanpa dasar hukum jelas, maka bukan hanya soal relokasi yang patut dipertanyakan, tapi juga integritas pengelolaan aset daerah.
Sebagian warga menyayangkan mengapa Wali Kota terlihat enggan mendalami pengakuan pedagang soal setoran ke oknum UPT, padahal transparansi dan akuntabilitas seharusnya menjadi prinsip dasar pemerintahan yang sehat.
Situasi ini diperparah dengan kabar bahwa sejumlah bagian terminal sudah berpindah tangan ke individu tertentu, bahkan dikaitkan dengan sengketa perdata yang belum tuntas. Di tengah carut-marut status lahan, muncul dugaan Pemkot tidak memahami secara utuh kompleksitas aset yang hendak dirombak.
Warga mendesak Pemerintah Kota untuk membuka data dan rencana secara transparan, serta menindaklanjuti dugaan pungli yang telah lama berlangsung.
“Kalau mau bongkar, silakan, tapi jangan tutup mata atas apa yang selama ini terjadi di sini. Jangan abaikan suara kami,” tegas salah satu warga.
Polemik Terminal Panjang ini membuka ruang bagi evaluasi menyeluruh atas tata kelola aset dan perilaku birokrasi yang dianggap arogan. Yang dibutuhkan bukan hanya pembangunan fisik, tetapi juga penghormatan terhadap warga kecil yang selama ini menjadi penopang roda ekonomi kota.***