SAIBETIK– Wali Kota Eva Dwiana tengah menjadi sorotan publik karena rangkaian kebijakan yang dinilai tidak berpihak kepada masyarakat kelas bawah. Kritik datang dari berbagai kalangan, menyebut gaya kepemimpinannya sebagai “The Killer Policy”—sebuah istilah satir yang mencerminkan kebijakan tanpa empati.
Sekolah Swasta Siger: Solusi Pendidikan atau Masalah Baru?
Eva Dwiana membuka pendaftaran untuk SMA Swasta Siger 1–4 meski belum mengantongi uji kelayakan dan dinilai melanggar sejumlah regulasi, seperti:
- Permendikbudristek RI No. 36 Tahun 2014
- UU RI No. 16 Tahun 2001
- PP RI No. 66 Tahun 2010
Puluhan siswa pra-sejahtera yang sudah mendaftar kini belum memulai kegiatan belajar dan tak mengikuti Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) seperti sekolah lain. Alih-alih pendidikan gratis, mereka justru menghadapi ketidakpastian waktu belajar dan ijazah.
Di sisi lain, kehadiran SMA Siger menimbulkan gangguan di sekolah-sekolah negeri. Kepala SMP Negeri yang gedungnya dipakai untuk SMA Siger bahkan harus memajukan jam pulang siswa hingga pukul 12.30—memangkas jam belajar.
Sekolah Swasta Tersingkir, Guru Swasta Tak Dilirik
Bandar Lampung memiliki ratusan SMA/SMK swasta yang kini sebagian besar terancam tutup. Namun Pemkot justru mengerahkan guru SMP Negeri untuk mengajar di SMA Siger, tanpa membuka peluang bagi guru-guru swasta. Padahal, guru swasta banyak yang menggantungkan hidup dari gaji kecil yang kini makin tak menentu.
Abaikan Akademisi, Tabrak Regulasi, Gaspol Bongkar Terminal
Meski belum ada izin dari DPRD Kota dan Dinas Pendidikan Provinsi, Eva bersikukuh mendirikan SMA Siger. Bahkan, rencana pembongkaran Terminal Panjang—lokasi tempat sekolah tersebut berdiri—ditentang warga penyewa lapak dan salon. Ironisnya, aduan warga yang mengaku setor uang sewa ke oknum pejabat UPT malah dibungkam lewat unggahan Instagram sang wali kota.
Insentif RT Tertunggak, Tapi Bangun Sekolah Swasta dan JPO
Sementara ketua RT dan kepala lingkungan mengeluh belum menerima insentif hingga delapan bulan, Pemkot justru menggelontorkan anggaran untuk membangun Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) bernilai miliaran rupiah. Padahal, Dinas Lingkungan Hidup pernah mengakui bahwa kota ini kekurangan ruang terbuka hijau (RTH) dan tidak memiliki dana untuk membangunnya.
Jembatan Gantung vs Kualitas Udara
Eva juga berencana membangun jembatan gantung wisata—sebuah proyek prestise yang dinilai lebih menguntungkan kalangan menengah atas daripada masyarakat bawah. Ironi makin kuat karena hutan kota menyusut akibat pembangunan dan kawasan perbatasan kota makin padat dengan properti real estate.
Banjir, Polusi, dan Krisis Sosial
Ketika warga kota terdampak banjir dan pemukiman padat semakin rawan, kebijakan Pemkot justru tidak menyentuh akar persoalan. Tidak ada revitalisasi lingkungan, tidak ada perhatian terhadap masyarakat kecil, dan tidak ada empati untuk pekerja sektor informal atau guru swasta.
The Killer Policy: Retorika vs Realita
Janji untuk pro terhadap kaum pra-sejahtera kini dinilai hanya retorika politik. Dengan sederet kebijakan kontroversial, publik mulai mempertanyakan: Apakah Pemkot masih mendengar suara rakyat kecil?
Apakah pembangunan sekolah dan infrastruktur tanpa transparansi dan partisipasi publik layak disebut solusi? Atau justru menjadi senjata kebijakan yang membunuh harapan dan kepercayaan masyarakat?***