SAIBETIK — Sekretaris Jenderal Laskar Lampung, Panji Padang Ratu, mengangkat isu krusial terkait proses seleksi jabatan pimpinan tinggi pratama di Pemerintah Kabupaten Tanggamus. Ia menilai bahwa langkah Bupati Tanggamus yang menggunakan Surat Edaran dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) untuk memperpanjang batas usia maksimal calon pejabat dari 56 tahun menjadi 58 tahun berpotensi menimbulkan kontroversi.
“Penggunaan surat edaran ini memicu perdebatan di kalangan praktisi hukum dan pemerhati administrasi publik, yang menganggap keputusan tersebut melanggar peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,” ungkap Panji.
Mengacu pada PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS, yang telah diperbarui dengan PP Nomor 17 Tahun 2020, Panji menegaskan bahwa batas usia maksimal untuk mengikuti seleksi terbuka pejabat pimpinan tinggi pratama adalah 56 tahun. Ia khawatir, penggunaan surat edaran yang bersifat internal tanpa adanya revisi terhadap peraturan pemerintah dapat menciptakan ketidakpastian dalam administrasi negara.
“Surat edaran seharusnya berfungsi sebagai panduan teknis, bukan untuk mengubah substansi hukum yang sudah diatur oleh peraturan yang lebih tinggi. Mengapa kebijakan penting seperti ini tidak mengikuti aturan yang lebih tinggi?” tanyanya.
Panji menambahkan, keputusan bupati ini dapat melanggar asas legalitas, yang merupakan prinsip dasar dalam hukum administrasi negara. Setiap keputusan pejabat publik harus berlandaskan pada hukum yang berlaku.
“Keputusan ini bisa berisiko menghadapi gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan. Mereka dapat berargumen bahwa keputusan tersebut bertentangan dengan PP Nomor 11 Tahun 2017 dan berpotensi dibatalkan,” jelasnya.
Selain itu, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) berhak melakukan pengawasan terhadap pelanggaran yang mungkin terjadi dalam proses seleksi. Jika terbukti bersalah, bupati bisa dikenakan sanksi administratif.
“Langkah bupati ini bisa dianggap sebagai pelanggaran asas kepastian hukum, dan keputusan yang tidak konsisten dengan peraturan akan merusak kepercayaan publik terhadap integritas kepemimpinan daerah,” tambahnya.
Panji juga mengingatkan bahwa jika seleksi ini terbukti cacat hukum, dampaknya bisa sangat serius bagi stabilitas pemerintahan daerah, karena proses seleksi jabatan yang tidak sah dapat dibatalkan atau diulang. Hal ini berpotensi menyebabkan stagnasi dalam pengisian jabatan strategis.
“Sebagai pemimpin, bupati harus memastikan bahwa semua keputusan selaras dengan hukum yang lebih tinggi. Melanggar hukum untuk alasan pragmatis tidak dapat dibenarkan. Jika dibiarkan, kita akan membuka pintu bagi praktik pemerintahan yang tidak menghormati asas kepastian hukum,” tegas Panji.
Ia menutup pernyataannya dengan mengingatkan bahwa pejabat publik beroperasi di bawah kedaulatan hukum, bukan di atasnya. “Perubahan aturan harus dilakukan sesuai dengan prosedur yang benar, bukan melalui penggunaan surat edaran yang bersifat sementara dan internal,” pungkasnya.***