SAIBETIK— Hampir dua tahun berlalu sejak masa tugas Roslan Roeslani berakhir pada 17 Juli 2023, tapi posisi Duta Besar Republik Indonesia untuk Amerika Serikat masih kosong. Sepi. Tak bertuan. Mungkin hemat gaji? Mungkin juga bukan prioritas?
Tapi yang bikin menarik (atau justru ironis) adalah munculnya Surat Presiden RI Nomor R3 tanggal 1 Juli 2025, yang isinya adalah permohonan pertimbangan dari DPR terkait calon duta besar untuk negara-negara sahabat dan organisasi internasional.
Ya, betul. Permohonan. Presiden, pemimpin tertinggi negara dengan dua matahari (jika tahu, tahu), ternyata juga perlu “mohon-mohon” dalam proses diplomasi.
“Ini menandakan, kita bangsa yang menjunjung tinggi adab politik. Bahkan Presiden pun tidak bertindak sewenang-wenang,” celetuk seorang netizen bijak dari pojok X (dulu Twitter).
Sebagian warganet menyoroti drama ini sebagai bentuk kontras antara kekuasaan dan kesantunan konstitusional. Bahkan beberapa menyindir, “Kalau Korea Utara, apakah juga pakai surat permohonan buat tunjuk dubes?”
Tapi tak bisa dipungkiri, kekosongan posisi strategis ini jadi tanda tanya besar: Mengapa diplomasi kita ke AS, mitra dagang sekaligus negara adidaya, justru tampak seperti urusan yang ditunda-tunda?
Fun Fact: Apa Itu Geladir?
Sebelum bahas lebih jauh soal uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test), mari selipkan satu kosakata indah: Geladir.
Bisa berarti sesuatu yang meluncur cepat, bisa juga dipahami sebagai suguhan yang enak dipandang—tergantung konteks dan perut yang lapar.
Sayangnya, drama dubes ini tidak begitu “geladir”. Lebih mirip panggung kosong yang lama tak diisi aktor utama.
Bila dunia sedang gelap, setidaknya kita bisa menertawakannya sebentar. Tapi tetap ingat, diplomasi bukan dagelan. Semoga surat permohonan itu berujung pada langkah konkret: mengisi pos vital, bukan hanya membagi jabatan sebagai bentuk hadiah politik.***