SAIBETIK– Ada yang terasa janggal dari cara Pemerintah Kota mengambil langkah dalam urusan pendidikan. Alih-alih menyusun kebijakan dengan kedewasaan, yang terlihat justru sikap tergesa-gesa—seolah kebijakan lahir bukan dari perhitungan matang, melainkan dari semangat anak sekolah yang nekat naik motor tanpa STNK, bahkan belum pegang E-KTP.
Pemerintah kerap menyebut diri sebagai “Bunda” bagi warganya. Tapi, di mata publik, tindakannya justru terkesan kekanak-kanakan. Program pembangunan sekolah yang baru saja diumumkan malah menimbulkan tanya—bukan karena niatnya, melainkan cara dan logika di baliknya.
Tak ada koordinasi yang rapi. Tak terlihat juga dasar regulasi yang kuat. Apakah aturan menteri dilanggar karena tidak tahu, lupa, atau memang mengabaikannya?
Warga prasejahtera, yang mestinya jadi prioritas utama, justru seperti jadi figuran dalam drama kebijakan yang absurd. Layaknya baris puisi dalam lomba yang tak pernah dimenangkan, nasib mereka terselip di antara rencana yang terlalu banyak gebrakan, namun minim fondasi.
Jika baru memulai saja sudah menabrak akal sehat, bagaimana jadinya jika pembangunan benar-benar berjalan? Jangan sampai, yang dibangun bukan masa depan, melainkan tumpukan proyek yang hanya menyisakan debu dan janji.
Sebab jika yang dibangun tak berdasar konstitusi dan logika, bisa-bisa, keadilan pun ikut tergilas roda truk pengangkut wacana.***