SAIBETIK— Polemik pendidikan di Provinsi Lampung kembali mengemuka. Kali ini, keluh kesah datang dari para kepala sekolah SMK swasta yang merasa terpinggirkan oleh sistem dan regulasi yang timpang. Dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi V DPRD Lampung, Senin (7/7/2025), sekitar 20 kepala sekolah hadir membawa sederet keresahan, mulai dari ancaman PHK guru hingga ketimpangan kuota penerimaan siswa antara sekolah negeri dan swasta.
“Ini bukan sekadar angka siswa, ini menyangkut nasib ribuan guru dan masa depan sekolah swasta,” ujar Muhammad Iqbal Cahyadi Syah Putra, Kepala SMK PGRI 1.
Yayasan Sekolah Siger jadi Sorotan
Salah satu isu yang paling menyita perhatian adalah keberadaan Yayasan Sekolah Siger, yang dinilai mendapat perlakuan istimewa. Sekolah yang konon bertujuan mulia menyediakan pendidikan gratis ini ternyata meminjam gedung SMP Negeri 38, 39, 44, dan 45—sesuatu yang menurut para kepala sekolah swasta bertentangan dengan peraturan presiden.
“Dulu kami dilarang meminjam gedung negeri, tapi kenapa sekarang diperbolehkan untuk Siger?” tanya Iqbal yang mengaku pernah membaca aturan ini dari arsip pemberitaan pendidikan tahun 1988.
Ketimpangan Distribusi Siswa
Data dari Dinas Pendidikan mencatat, dari 14.527 lulusan SMP, sebanyak 12.057 telah terserap di SMA/SMK negeri, menyisakan 2.470 siswa untuk ratusan sekolah swasta yang ada. Budhi Condrowati dari Fraksi PDI-P menyebut ada kejanggalan.
“Ada SMK negeri menerima hingga 820 siswa baru. Ini bukan hanya jomplang, tapi tidak rasional secara kapasitas ruang kelas,” tegasnya.
Nasib Guru Swasta di Ujung Tanduk
Sejumlah kepala sekolah mengaku telah melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap guru karena tak memiliki cukup murid. Bahkan guru bersertifikasi kini berada di ambang pengangguran. Sekolah legendaris seperti SMK Ganesha di Metro disebut sudah tidak lagi aktif, bahkan bangunannya ditinggalkan begitu saja.
“SMK Bhakti Utama dijual, Bina Mulya tutup, dan kami… hanya bisa bertahan sambil berdoa,” kata Kepala SMK 2 Mei, seorang pensiunan PNS dengan pengalaman puluhan tahun di dunia pendidikan.
Syamsu Rahman, Ketua Forum Kepala SMK Swasta, juga menyoroti larangan kunjungan industri, yang menjadi bagian penting dari proses belajar-mengajar khas SMK.
“Kalau jargon kita lulus langsung kerja, lalu bagaimana anak-anak mengenal industri kalau tidak boleh kunjungan?” katanya lirih.
Respons DPRD: Akan Panggil Stakeholder
Anggota Komisi V DPRD Provinsi Lampung dari Fraksi PKS, Syukron Muchtar, menyampaikan komitmen dewan untuk menindaklanjuti seluruh masukan.
“Kami akan panggil stakeholder pendidikan untuk menyelesaikan persoalan ini secara sistemik. Masukan dari Bapak-Ibu semua sudah kami catat,” ujarnya.
Namun respons berbeda datang dari Muhammad Junaidi (Fraksi Demokrat). Ia justru menyambut baik kehadiran Sekolah Siger.
“Saya bangga jika ada sekolah gratis yang bisa menjaring 800 siswa. Pendidikan gratis adalah hal mulia,” katanya, meski mengaku sebagai alumnus sekolah swasta.
Polemik ini bukan sekadar kompetisi antar sekolah, melainkan pertarungan hak atas pendidikan yang adil dan setara. Ketika sekolah negeri kian menguat, apakah sekolah swasta harus dikorbankan? DPRD Lampung punya pekerjaan rumah besar: memastikan semua sektor pendidikan berjalan berdampingan, bukan saling menggerus.***