SAIBETIK- Lampung bersiap meluncurkan terobosan besar di sektor pendidikan. Program Sekolah Terbuka yang akan diresmikan tahun depan digadang-gadang menjadi role model nasional, sekaligus jawaban atas persoalan krusial yang selama bertahun-tahun menghantui dunia pendidikan di provinsi ini: tingginya angka putus sekolah dan rendahnya partisipasi pendidikan jenjang SMA.
Dalam laporan resmi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung, pekerjaan rumah terbesar ada di jenjang sekolah menengah atas. Data tahun 2024 menunjukkan Angka Putus Sekolah (APS) SMA mencapai 72,35 persen, jauh melampaui tingkat SD dan SMP. Meski Angka Partisipasi Murni (APM) SMA di Lampung masih berada di atas rata-rata nasional, tetapi tetap jauh lebih rendah dibandingkan jenjang pendidikan lainnya. Artinya, semakin tinggi jenjang pendidikannya, semakin besar kemungkinan siswa untuk berhenti bersekolah.
Kondisi ini diperkuat oleh pernyataan Kadisdikbud Lampung, Thomas, Senin 24 November 2025. Ia menegaskan temuan mengejutkan: hanya 64 persen lulusan SMP di Lampung yang melanjutkan pendidikan ke SMA. Angka ini menggambarkan realita getir bahwa banyak remaja usia sekolah harus mengubur mimpi akademis mereka.
Menurut Thomas, persoalan tersebut lebih dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan kultur. Banyak lulusan SMP harus bekerja untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga. Sementara sebagian lainnya merasa sudah cukup mapan dengan penghasilan dari pekerjaan informal, sehingga tidak melihat sekolah sebagai prioritas.
“Banyak dari mereka yang merasa sudah bisa mencari uang, sehingga sekolah dianggap tidak lagi mendesak. Ini terkait kultur dan kondisi ekonomi warga di beberapa daerah,” ujarnya.
Melihat fakta tersebut, program Sekolah Terbuka dirancang sebagai solusi pendidikan yang fleksibel, adaptif, dan dapat diakses oleh kelompok usia beragam. Konsepnya ialah sekolah yang menginduk pada SMA reguler, namun memungkinkan siswa mengikuti proses belajar secara daring atau luring menyesuaikan kondisi mereka. Disdikbud memastikan sekolah ini tetap mendapatkan dana BOS agar tidak membebani siswa dan keluarga.
“Konsepnya dinamis. Kita coba mengikuti situasi siswanya. Ada yang belajar dari rumah, ada yang datang ke sekolah induk. Yang penting, akses pendidikan tetap berjalan,” kata Thomas.
Program ini akan diprioritaskan di wilayah yang membutuhkan akses lebih fleksibel, seperti Mesuji dan daerah 3T. Thomas menuturkan bahwa gagasan ini muncul setelah dirinya menghadiri kegiatan akademik di Universitas Terbuka. Setelah dilakukan konsultasi lintas lembaga, regulasi untuk mendukung program ini kini sedang dirancang.
“Mudah-mudahan tahun depan bisa kita jalankan. Doakan saja,” tegasnya.
Menariknya, Sekolah Terbuka tidak hanya menyasar siswa usia sekolah, tetapi juga warga dewasa yang putus sekolah sejak lama. Pendekatan “jemput bola” akan dilakukan oleh tim Disdikbud untuk mengajak masyarakat kembali ke bangku pendidikan, sekaligus menjadi kesempatan untuk meningkatkan kompetensi dan keterampilan warga.
“Pesertanya sebanyak mungkin. Usianya beragam, bahkan banyak yang sudah bekerja. Nanti tim akan turun langsung ke masyarakat, mengajak mereka kembali belajar,” tambahnya.
Selain pendidikan formal, peserta juga akan mendapatkan pelatihan vokasi sesuai kebutuhan dunia kerja. Mereka juga bisa memilih jalur Paket C apabila lebih cocok dengan kondisi mereka. Ijazah yang diperoleh tetap merupakan ijazah formal setara SMA.
Jika berhasil, program ini diprediksi menjadi contoh nasional dalam menurunkan angka putus sekolah dan meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Lampung. Oleh karena itu, Disdikbud juga mengembangkan Peta Jalan Pendidikan yang menyasar peningkatan Rata-rata Lama Sekolah (RLS), Harapan Lama Sekolah (HLS), serta APM dan APK SMA.
Berbagai strategi telah disusun, mulai dari try-out massal seluruh pelajar, pembentukan kelas prioritas, kolaborasi dengan lembaga bimbingan belajar, hingga memasukkan riset perguruan tinggi ke dalam pendidikan sekolah. Langkah ini bertujuan memetakan minat dan bakat siswa agar mereka dibimbing sesuai jurusan yang diminati—mulai dari kedokteran hingga teknik dan hukum.
“Kalau minatnya tidak sesuai standar, ya perlu pembelajaran tambahan agar mereka bisa lolos UTBK. Kita ingin arah pendidikan lebih terarah, lebih terukur,” tutup Thomas.
Program Sekolah Terbuka menjadi harapan baru bagi Lampung. Jika berhasil, Lampung bukan hanya mengejar ketertinggalan, tetapi berpotensi menjadi pionir pendidikan yang mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat, tanpa terkecuali. Lampung bergerak menuju masa depan baru: pendidikan yang inklusif, fleksibel, dan benar-benar adaptif terhadap tantangan zaman.***






