SAIBETIK- Napoli dan AC Milan, dua klub besar Italia yang dulu kerap berburu bintang dunia, kini justru bersaing mendapatkan pemain yang dianggap surplus dari liga lain. Terbaru, nama Federico Chiesa mencuat sebagai incaran keduanya. Padahal, eks pemain Juventus itu tengah kesulitan menembus skuad utama Liverpool di bawah pelatih anyar, Arne Slot.
Meski memiliki kualitas, Chiesa seperti pendahulunya—Tammy Abraham, Romelu Lukaku, Luka Modric, hingga Edin Dzeko—mulai dikaitkan dengan label “pemain buangan” dari Liga Inggris maupun Liga Spanyol. Ironisnya, para pemain ini justru menjadi solusi bagi klub Serie A yang kesulitan mendatangkan talenta muda berkualitas tinggi.
Mengapa Klub Italia Kini Bergantung pada “Pemain Bapuk”?
Kondisi ini tak lepas dari krisis finansial yang melanda banyak klub di Italia. Pendapatan hak siar yang stagnan, ketidakpastian manajemen, dan minimnya transparansi membuat Serie A kalah bersaing dengan liga-liga top seperti Premier League dan Bundesliga.
Alih-alih membeli calon bintang, klub Serie A lebih sering menunggu “limpahan” pemain yang tidak lagi dibutuhkan oleh klub elite Eropa.
Sultan Arab Pilih Liga Prancis, Jauhi Italia
Dalam beberapa tahun terakhir, pemilik modal besar dari Timur Tengah justru lebih tertarik berinvestasi di klub-klub seperti PSG di Ligue 1, dibanding menanamkan uang di Serie A.
Menurut analis, ada beberapa faktor utama:
- Birokrasi ruwet dan skandal pengaturan skor yang masih membayangi sepak bola Italia.
- Ketidakpastian hukum dan dominasi “mafia sepak bola” yang membuat investor berhati-hati.
- Lingkungan bisnis yang tidak stabil dan rawan konflik internal.
Meskipun Ligue 1 tidak sekompetitif Premier League, para sultan merasa lebih nyaman dan dihargai secara politis serta strategis saat mengelola klub di Prancis.
Dampak Jangka Panjang: Timnas Italia Kehilangan Taji
Dominasi pemain veteran dan minimnya regenerasi berdampak pada performa tim nasional. Italia kesulitan bersaing bahkan dengan negara-negara yang dahulu tidak diperhitungkan seperti Norwegia atau Maroko.
Tak hanya kalah di level taktik, tapi juga dari sisi investasi sumber daya manusia di lapangan hijau.
Penutup: Dilema Sepak Bola Italia
Kebesaran Serie A di era 90-an, saat nama-nama seperti Batistuta, Ronaldo, hingga Zinedine Zidane menghiasi lapangan, kini tinggal nostalgia. Tanpa reformasi menyeluruh dan pembenahan citra liga, Serie A akan terus jadi pelabuhan karier akhir pemain tua—bukan pusat pengembangan bintang masa depan.
Jika tidak segera berubah, Serie A bukan hanya kehilangan panggungnya, tapi juga kepercayaan dunia.***