SAIBETIK- Taman Nasional Way Kambas (TNWK) kembali menjadi sorotan publik setelah seorang pemerhati konservasi dari Jaring Kelola Ekosistem Lampung (JKEL), Almuhery Ali Paksi, mengungkap dugaan serius terkait perubahan zonasi kawasan konservasi tersebut. Kritik itu disampaikan pada Jumat, 12 Desember 2025, bertepatan dengan kegiatan konsultasi publik perubahan zona pengelolaan TNWK di Hotel Emersia, yang dimulai sekitar pukul 08.00 WIB.
Dalam forum yang dihadiri berbagai pemangku kepentingan itu, Almuhery menuding adanya upaya sistematis untuk mengubah kawasan zona inti TNWK—yang merupakan kawasan paling dilindungi—menjadi zona pemanfaatan. Ia menyebut perubahan tersebut mencapai 70 persen dari total luasan zona inti, sebuah angka yang dianggap sangat tidak wajar dan mengancam keberlangsungan konservasi satwa di dalamnya.
Menurut Almuhery, perubahan masif ini patut dicurigai sebagai upaya “legalisasi” penghancuran kawasan konservasi. Ia menyoroti indikasi adanya akal-akalan untuk memuluskan perubahan tata ruang, sehingga tampak sah secara administratif namun justru melemahkan fungsi kawasan konservasi.
Ia membeberkan data yang mengejutkan: zona inti TNWK yang pada tahun 2020 tercatat seluas 59.935 hektare, kini hanya tersisa 27.661 hektare pada 2025. Artinya, terdapat penyusutan lebih dari 32 ribu hektare. Almuhery menyebut sebagian luasan tersebut diduga telah “dijual” kepada pihak asing, yang menurutnya berasal dari salah satu negara adidaya.
Ia bahkan menunjukkan bukti berupa peta perbandingan luas zona inti 2020 dan 2025. Dengan berkurangnya puluhan ribu hektare, ia menilai tidak heran jika kini semakin sering terlihat gajah liar memasuki pemukiman di sekitar Sukadana dan kawasan penyangga lainnya. Baginya, penyusutan zona inti berdampak langsung terhadap ruang gerak satwa liar yang semakin terdesak ke wilayah manusia.
Almuhery mengajak masyarakat konservasi, media, dan organisasi peduli lingkungan untuk menggali lebih dalam tujuan perubahan zonasi tersebut. Baginya, publik berhak mendapatkan informasi transparan atas keputusan strategis yang berpotensi mengubah masa depan ekosistem Way Kambas.
Ia mengingatkan bahwa konflik satwa-manusia telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Gajah sering terlihat merusak kebun dan memasuki pemukiman, pertanda kuat bahwa habitat mereka semakin tertekan. Menurutnya, jika zona inti terus dikurangi, maka konflik akan semakin parah dan merugikan kedua pihak.
Menanggapi kritik tersebut, pihak Kehumasan TNWK langsung memberikan klarifikasi. Dalam wawancara singkat di sela acara konsultasi publik, perwakilan Humas TNWK, Nandri dan Riri, menegaskan bahwa perubahan zonasi bukanlah bentuk penghancuran kawasan konservasi, melainkan upaya pemulihan ekosistem. Mereka menyebut beberapa area membutuhkan penyesuaian zonasi agar dapat dilakukan rehabilitasi dan pemulihan keanekaragaman hayati.
Nandri menambahkan bahwa perubahan zonasi ini belum diimplementasikan, karena prosesnya masih dalam tahap konsultasi publik. Semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, akademisi, dan NGO, diundang untuk memberikan masukan. Proses ini, jelasnya, merupakan kewajiban administratif sebelum keputusan final dibuat.
Ia menegaskan bahwa konsultasi publik hari itu bertujuan menganalisis kebutuhan, mendengar masukan, dan mengevaluasi data konservasi. Karena belum final, Humas TNWK belum dapat memberikan penjelasan rinci terkait tudingan penjualan lahan atau penyusutan zona inti. Pihaknya meminta awak media menunggu kesempatan wawancara dengan Direktur TNWK usai rangkaian acara selesai.
Sementara itu, dugaan jual beli lahan yang disampaikan Almuhery masih menjadi tanda tanya besar. Publik menunggu klarifikasi resmi dan transparan dari pihak taman nasional dan kementerian terkait. Polemik ini membuka ruang diskusi lebih luas mengenai masa depan konservasi Way Kambas—rumah bagi gajah Sumatra, harimau, badak, dan berbagai satwa dilindungi lainnya.
Perubahan zonasi Way Kambas kini menjadi isu yang tidak hanya menyangkut konservasi, tetapi juga kedaulatan, tata ruang, dan kepentingan publik. Pertanyaannya: apakah perubahan ini benar untuk pemulihan ekosistem, atau justru ada kepentingan yang lebih besar di baliknya?***









