SAIBETIK– Dunia pendidikan di Kota Tapis Berseri kembali diguncang oleh isu panas yang menimbulkan tanda tanya besar di kalangan masyarakat. Polemik muncul terkait keberadaan SMA Swasta Siger, lembaga pendidikan baru yang diduga kuat beroperasi tanpa legalitas resmi, namun justru disebut-sebut menggunakan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Kota Bandar Lampung.
Fakta mencengangkan ini mencuat setelah beredarnya dokumen resmi berupa akta notaris yang diperoleh redaksi dari akses Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) pada Rabu, 29 Oktober 2025. Dalam akta tersebut tertulis bahwa Yayasan Siger Prakarsa Bunda, lembaga yang menaungi SMA Swasta Siger, baru resmi dibuat pada 31 Juli 2025 dengan nomor akta 14. Namun yang mengejutkan, pihak sekolah telah lebih dulu membuka pendaftaran penerimaan murid baru (SPMB) pada 9–10 Juli 2025, atau sekitar tiga minggu sebelum yayasan tersebut memiliki legalitas hukum.
Ironisnya, berdasarkan penelusuran lebih lanjut, SMA Swasta Siger diketahui menumpang di dua sekolah negeri, yakni SMP Negeri 38 dan SMP Negeri 44 Bandar Lampung. Langkah ini menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana mungkin sebuah lembaga swasta yang belum memiliki izin resmi bisa menggunakan fasilitas negara yang bersumber dari APBD untuk kegiatan operasionalnya?
Publik pun menilai bahwa praktik seperti ini adalah bentuk penyimpangan serius yang mencederai prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan pendidikan di daerah. Kebijakan yang dianggap “liar” ini mencerminkan lemahnya pengawasan dan kontrol hukum di bawah kepemimpinan Wali Kota Eva Dwiana.
Lebih jauh, keterlibatan sejumlah tokoh penting di balik yayasan tersebut juga ikut disorot. Ketua yayasan diketahui merupakan mantan Pelaksana Tugas Sekretaris Daerah (Plt Sekda) Pemkot Bandar Lampung, sementara posisi ketua pembina disebut-sebut dipegang oleh saudara kembar sosok yang dijuluki “The Killer Policy”, julukan yang dikenal publik karena gaya kepemimpinannya yang kontroversial dan penuh intrik politik.
Kondisi ini menimbulkan dugaan kuat bahwa ada kepentingan tertentu yang bermain di balik berdirinya SMA Swasta Siger. Apalagi, fakta bahwa sekolah tersebut beroperasi dengan fasilitas milik negara tanpa perjanjian kerja sama yang sah semakin mempertegas adanya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), pendirian lembaga pendidikan wajib didasarkan pada izin resmi yang diterbitkan oleh pemerintah, serta memenuhi standar sarana dan prasarana yang ditetapkan. Selain itu, pemanfaatan aset negara oleh lembaga swasta tanpa dasar hukum jelas dapat dikategorikan sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang.
Berbagai kalangan pun mulai angkat suara. Aktivis pendidikan dan pemerhati kebijakan publik di Lampung menyebut fenomena ini sebagai “potret buram birokrasi pendidikan”. Mereka menilai bahwa langkah Pemkot Bandar Lampung di bawah Eva Dwiana menunjukkan lemahnya integritas pemerintahan dalam menegakkan aturan.
“Pemerintah seharusnya menjadi contoh dalam menaati hukum. Ketika lembaga swasta yang belum memiliki izin bisa beroperasi di aset negara, itu menunjukkan ada pembiaran sistemik. Yang jadi korban adalah anak-anak kita sendiri,” ujar salah satu pemerhati pendidikan yang enggan disebutkan namanya.
Selain itu, sejumlah tokoh masyarakat juga mempertanyakan mengapa DPRD Kota Bandar Lampung belum bersikap tegas dalam mengawasi penggunaan APBD untuk kegiatan yang belum memiliki dasar hukum yang kuat. Mereka menilai seharusnya legislatif turut memeriksa lebih dalam terkait alokasi dana dan pemanfaatan aset negara dalam kasus ini.
Polemik ini pun terus berkembang dan menjadi perbincangan hangat di media sosial. Banyak warga menilai bahwa apa yang terjadi di SMA Swasta Siger hanyalah “puncak gunung es” dari carut-marut kebijakan pendidikan di Bandar Lampung. Publik berharap agar aparat penegak hukum, mulai dari Inspektorat, Ombudsman, hingga Kejaksaan Negeri, segera turun tangan untuk menyelidiki dugaan penyalahgunaan kewenangan dalam kasus ini.
Keberadaan SMA Swasta Siger kini menjadi simbol bagaimana kebijakan publik bisa dijalankan tanpa transparansi yang jelas. Pemerintah Kota Bandar Lampung di bawah kepemimpinan Eva Dwiana kini berada di ujung tanduk kepercayaan publik. Jika dugaan ini terbukti benar, maka kasus ini dapat menjadi salah satu skandal pendidikan terbesar di Lampung dalam satu dekade terakhir.
Apakah pemerintah daerah akan berani bertanggung jawab? Ataukah publik kembali disuguhi drama panjang tentang kebijakan yang sarat kepentingan politik? Jawabannya kini bergantung pada keseriusan aparat penegak hukum dan keberanian masyarakat untuk menuntut keadilan dalam dunia pendidikan yang seharusnya bersih dan berintegritas.***








