SAIBETIK—Gelombang massa yang terdiri dari ribuan mahasiswa, masyarakat umum, hingga pengemudi ojek online memenuhi ruas jalan di sekitar Gedung DPRD Provinsi Lampung pada Senin (01/09/2025). Sejak pagi hari, Jalan Wolter Monginsidi dan Jalan Dr. Warsito dipadati lautan manusia yang membawa poster, bendera, hingga pengeras suara untuk menyuarakan berbagai tuntutan rakyat.
Aksi ini berlangsung hingga sore hari tanpa adanya kerusuhan maupun kerusakan fasilitas umum. Ribuan massa bergerak dengan tertib, menciptakan suasana unjuk rasa yang damai, jauh dari gambaran ricuh yang kerap menghiasi aksi serupa di sejumlah daerah lain di Indonesia.
Tuntutan yang disampaikan beragam, mulai dari isu pendidikan, reforma agraria, penegakan hukum, hingga transparansi kebijakan publik. Sejumlah spanduk menyoroti perlunya pemerintah pusat segera mengesahkan Undang-Undang Perampasan Aset, melakukan reformasi terhadap institusi kepolisian, serta meningkatkan kesejahteraan guru dan dosen. Ada pula desakan mengenai efisiensi kebijakan di sektor pendidikan dan kesehatan, penolakan terhadap RKUHAP, hingga kasus hukum yang menimpa Affan Kurniawan.
Isu reforma agraria juga mencuat cukup kuat. Para peserta aksi menuntut agar tanah-tanah yang selama ini dikuasai oleh korporasi besar segera dibebaskan untuk petani kecil di Lampung. Menurut mereka, pemerataan akses lahan menjadi langkah penting dalam mewujudkan keadilan sosial dan memperkuat ketahanan pangan daerah.
Menariknya, aksi ini berjalan dalam suasana persaudaraan. Gubernur Lampung, Rahmat Mirzani Djausal, bahkan duduk di tengah massa di atas aspal jalan, membuka dialog langsung dengan peserta aksi. Langkah ini diapresiasi karena menghadirkan suasana menyejukkan, sekaligus memberi ruang bagi aspirasi masyarakat untuk didengar secara setara.
Kapolda Lampung Irjen Pol Helmy Santika juga memberikan apresiasi terhadap jalannya aksi. Menurutnya, keberhasilan menjaga ketertiban ini tak lepas dari koordinasi erat Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Lampung bersama aparat keamanan, mahasiswa, dan masyarakat. “Berkat kerja sama semua pihak, penyampaian pendapat berjalan aman, tertib, dan damai. Situasi seperti ini harus terus kita jaga,” ujarnya.
Sejumlah perwakilan mahasiswa kemudian diberi kesempatan menyampaikan aspirasi mereka secara langsung di hadapan jajaran Forkopimda. Momentum ini menjadi bukti bahwa ruang demokrasi di Lampung dapat berjalan sehat, terbuka, dan beradab. Mahasiswa yang turun ke jalan tidak hanya menyuarakan tuntutan semata, melainkan juga menyampaikan visi sebagai generasi penerus yang peduli terhadap masa depan daerah.
Aksi damai di Lampung ini menghadirkan kontras yang mencolok dengan demonstrasi di berbagai wilayah lain di Indonesia yang kerap berujung bentrokan. Di Lampung, wajah demokrasi justru tampak bersih: tidak ada kericuhan, tidak ada kekerasan, dan tidak ada gesekan yang berarti. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan persuasif, dialog terbuka, serta rasa saling menghormati jauh lebih efektif daripada pendekatan represif.
Menjelang sore, massa perlahan membubarkan diri setelah pernyataan sikap dibacakan dan aspirasi mereka diterima secara resmi. Hujan deras yang mengguyur Kota Bandarlampung sesaat setelah aksi bubar seolah menjadi penutup yang penuh kesejukan.
Peristiwa ini tidak hanya menandai keberhasilan dalam menjaga kondusivitas, tetapi juga menjadi simbol bahwa Lampung mampu memberi teladan bagi daerah lain dalam mengelola aksi massa. Ketika rakyat diberi ruang untuk bersuara dan pemerintah hadir mendengarkan, demokrasi menemukan wajah sejatinya: damai, tertib, dan penuh persaudaraan.***