SAIBETIK– Polemik SMA Siger kembali menjadi sorotan publik setelah terungkap berbagai dugaan pelanggaran berat yang melibatkan lintas sektor eksekutif dan legislatif di Lampung. Sekolah swasta yang dikaitkan dengan sejumlah pejabat kota dan provinsi ini diduga beroperasi secara ilegal dan terang-terangan melanggar aturan tanpa ada intervensi hukum yang jelas.
SMA Siger yang dimiliki Kadisdikbud Bandar Lampung, Eka Afriana, dan eks Plt Sekda Bandar Lampung, Khaidarmansyah, menjadi sorotan karena praktiknya yang kontroversial. Bahkan, Wali Kota Bandar Lampung Eva Dwiana diketahui turut mempromosikan keberadaan sekolah ini, meski secara hukum sekolah ini belum memenuhi persyaratan formal. Dugaan pelanggaran tidak hanya mencakup Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, tetapi juga undang-undang perlindungan anak, karena beberapa peserta didik ditempatkan pada kondisi yang berisiko mengalami bullying dan tidak terdaftar dalam dapodik Kemendikbud, sehingga potensi tidak memperoleh ijazah sah.
Selain itu, sekolah ini juga dimiliki oleh Plt Kasubag Aset dan Keuangan Disdikbud Bandar Lampung, Satria Utama, serta Didi Agus Bianto dan Suwandi Umar, tetapi belum memiliki aset yang menjadi persyaratan mutlak untuk memperoleh izin dari Disdikbud Provinsi Lampung. Kepala DPMPTSP Lampung, Drs. Intizam, menegaskan pada November 2025 bahwa yayasan SMA ini belum mengajukan izin resmi. Hal ini membuka potensi pelanggaran hukum lebih lanjut, termasuk penggelapan dan penadahan aset negara, karena operasional sekolah menggunakan gedung dan sarana prasarana milik pemerintah.
Masalah lain yang mencuat adalah soal tenaga pengajar. Puluhan guru di SMA Siger dilaporkan belum menerima honorium selama lebih dari tiga bulan. Pihak yayasan hanya meminta mereka bersabar, tanpa ada kepastian pembayaran, yang jelas melanggar hak pekerja sesuai aturan ketenagakerjaan.
Mengejutkan, meski skandal ini telah terang-terangan terjadi, tidak ada tindakan nyata dari stakeholder pendidikan di tingkat kota maupun provinsi. DPRD Kota Bandar Lampung, ketika dikonfirmasi soal praktik jual beli modul pelajaran yang dipersyaratkan untuk siswa, justru bungkam. Dukungan legislatif ini dinilai sebagai bentuk pembiaran terhadap operasional SMA ilegal yang memanfaatkan aset dan aliran dana pemerintah tanpa payung hukum yang jelas.
DPRD Provinsi Lampung pun tidak berbeda. Ketua dan anggota Komisi terkait, termasuk Yanuar dari PDI Perjuangan, enggan memberikan klarifikasi atau mengambil tindakan tegas. Anggota Komisi 5, seperti Syukron (PKS), Junaidi (Demokrat), dan Chondrowati (PDI Perjuangan), meski menerima keluhan penggiat pendidikan swasta se-Lampung, tidak melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke sekolah tersebut. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar tentang komitmen legislatif terhadap perlindungan peserta didik dan kepatuhan sekolah terhadap regulasi.
Gubernur Lampung, Rahmat Mirzani Djausal, belum melakukan intervensi langsung terkait keberadaan SMA Siger. Bantuan yang ada hanya melalui Kadisdikbud Lampung, tanpa bukti tindakan konkret untuk menindaklanjuti dugaan pelanggaran. Penggiat publik, seperti Abdullah Sani, bahkan mengeluhkan tidak adanya respons terhadap surat yang dikirim ke Kadisdikbud Thomas Americo, padahal harapannya adalah perlindungan hak pendidikan bagi peserta didik di sekolah tersebut.
SMA Siger, milik keluarga dekat Wali Kota Eva Dwiana, kini menjadi simbol pelanggaran berat dan praktik pendidikan yang ugal-ugalan di Lampung. Dugaan pelanggaran yang melibatkan pejabat eksekutif dan legislator menimbulkan kekhawatiran serius tentang integritas penyelenggaraan pendidikan swasta, perlindungan hak anak, dan transparansi penggunaan aset negara. Kondisi ini menegaskan perlunya pengawasan ketat dari pemerintah provinsi maupun pusat, agar praktik pendidikan ilegal semacam ini tidak menjadi preseden buruk yang merugikan peserta didik dan masyarakat luas.***







