SAIBETIK– Dunia pendidikan di Lampung kembali tercoreng oleh skandal yang menyeret nama Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal (RMD). Ironisnya, sosok RMD yang dikenal sebagai kader senior Partai Gerindra dan telah malang melintang di dunia politik justru terkesan abai dalam menangani persoalan serius yang menyangkut masa depan ribuan pelajar pra sejahtera.
Sorotan publik kini tertuju pada keberadaan SMA swasta ilegal bernama Siger. Sekolah ini berdiri dan beroperasi di dua lokasi berbeda, yakni Siger 1 di Bumi Waras dan Siger 2 di Way Halim. Meski sudah lama menjalankan kegiatan belajar mengajar, sekolah ini tidak memiliki izin resmi, tidak terdaftar di Data Pokok Pendidikan (Dapodik), dan tidak mendapat pengawasan langsung dari Pemerintah Provinsi Lampung. Fakta mencengangkan ini menimbulkan tanda tanya besar mengenai lemahnya pengawasan pemerintah terhadap dunia pendidikan.
Pertanyaan yang tak kalah mengusik publik: apakah Gubernur Lampung terlalu sibuk mengurus politik hingga melupakan tanggung jawabnya di bidang pendidikan? Atau justru ada pembiaran sistematis yang membuat keberadaan sekolah ilegal ini dianggap bukan masalah mendesak? Jika benar demikian, di mana peran Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) yang semestinya menjadi garda terdepan dalam pengawasan sekolah menengah di provinsi ini?
Lebih ironis lagi, hingga saat ini tidak ada langkah konkret yang dilakukan oleh RMD maupun Kadisdikbud Thomas Amirico untuk turun langsung memeriksa sekolah tersebut. Padahal, kewenangan penuh pengelolaan dan pengawasan SMA/SMK berada di tangan pemerintah provinsi. Pembiaran ini membuat publik bertanya-tanya: apakah ada kepentingan tertentu yang membuat sekolah ilegal tersebut dibiarkan tetap berjalan?
Praktisi hukum telah mengingatkan bahwa penyelenggara sekolah Siger berpotensi menghadapi jeratan hukum serius. Mulai dari dugaan tindak pidana korupsi, penggelapan aset negara, hingga penadahan barang hasil penggelapan. Ancaman ini bukan sekadar wacana, melainkan risiko nyata yang dapat memperburuk citra pendidikan Lampung di mata nasional.
Sayangnya, hingga kini semua pihak seakan memilih diam. DPRD Lampung, yang seharusnya menjadi wakil rakyat dan menjalankan fungsi pengawasan, justru bungkam. Dua anggota dewan perempuan yang juga seorang ibu, Heti Friskatati dan Mayang Suri Djausal, pun belum terlihat menyuarakan kepedulian terhadap nasib generasi muda yang terjebak di sekolah ilegal tersebut. Keheningan ini semakin menambah luka di tengah polemik yang kian membesar.
Di sisi lain, ratusan siswa pra sejahtera yang sudah terlanjur bersekolah di Siger kini berada di persimpangan jalan. Status mereka menjadi tidak jelas, ijazah mereka terancam tidak diakui, dan masa depan mereka pun tergantung pada keputusan politik yang entah kapan akan diambil. Skandal ini bukan hanya soal administrasi atau legalitas, tetapi juga soal keadilan dan hak dasar anak bangsa untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Skandal Siger kini menjadi cermin buram wajah pendidikan Lampung. Publik menuntut transparansi, tindakan tegas, dan keberanian pemerintah daerah dalam menegakkan aturan. Pertanyaan besarnya: sampai kapan generasi muda harus dikorbankan demi kepentingan politik dan pembiaran yang memalukan ini?***