SAIBETIK– Kasus dugaan korupsi dana Participating Interest (PI) 10% yang menyeret tiga direksi PT Lampung Energi Berjaya (LEB) hingga harus mendekam di Rutan Kelas 1 Bandar Lampung, kini menjadi sorotan tajam publik dan pengamat hukum. Banyak pihak menilai penanganan kasus ini terindikasi sebagai “kelinci percobaan” bagi aparat penegak hukum dalam mengatur tata kelola dana PI 10% di BUMD migas, yang hingga kini masih minim regulasi jelas.
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung, melalui konferensi pers Aspidsus Armen Wijaya saat malam penahanan tiga direksi, menegaskan bahwa kasus PT LEB dijadikan “role model” pengelolaan dana PI 10% agar kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) dapat dimaksimalkan. Pernyataan ini pun menuai kritik tajam dari berbagai kalangan, termasuk politikus senior yang pernah berkarir di PDI Perjuangan, Ferdi Gunsan.
Ferdi menyoroti penggunaan istilah “role model” oleh Kejati Lampung. Menurutnya, tindakan ini justru mencerminkan pencarian kesalahan tanpa dasar hukum yang jelas dan minim transparansi. Hingga saat ini, Kejati hanya menyebut ada kerugian negara sebesar Rp200 miliar, tanpa menjelaskan pelanggaran regulasi secara rinci terkait penyalahgunaan dana PI 10% di PT LEB.
Kekosongan regulasi ini menimbulkan skeptisme publik yang kuat. Banyak pengamat menilai, kasus PT LEB bukan hanya soal dugaan korupsi, tetapi bisa jadi eksperimen hukum untuk merancang prosedur baru pengelolaan dana PI 10%. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah pantas direksi PT LEB dijadikan tersangka dan berpotensi terpidana, jika belum ada landasan hukum yang jelas mengenai pengelolaan aliran dana tersebut?
Secara hukum, regulasi terkait PI 10% di sektor migas memang masih terbatas. Dalam PP Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, hanya diatur mekanisme penawaran PI 10% oleh kontraktor dan kesanggupan minat dari BUMD, tanpa mengatur secara rinci bagaimana pengelolaan dan aliran dana tersebut. Peraturan Menteri ESDM Nomor 37 Tahun 2016 pun hanya memuat ketentuan teknis penawaran PI 10%, sedangkan Pergub maupun Perda Lampung sama sekali tidak memuat tata kelola keuangan dana PI 10%.
Dengan kondisi hukum yang ambigu ini, penetapan tersangka terhadap tiga direksi PT LEB memicu perdebatan sengit. Para pengamat hukum menilai, jika dasar hukum tidak jelas, maka penegakan hukum bisa dipersepsikan sebagai langkah eksperimental yang berisiko melanggar prinsip keadilan. Beberapa pihak menyebut hal ini bisa menjadi preseden berbahaya bagi perusahaan daerah lain seperti PT LJU atau BUMD migas lainnya.
Kontroversi ini juga memunculkan pertanyaan terkait peran Kejati Lampung. Apakah penetapan kasus PT LEB sebagai “role model” sebenarnya dimaksudkan untuk menegakkan hukum, atau justru untuk menyiapkan dasar regulasi baru yang belum ada? Retorika “jangan-jangan ini kelinci percobaan” pun semakin menguat, karena hingga kini belum ada prosedur konkrit atau abstrak mengenai pengelolaan dana PI 10% yang dijadikan acuan penegakan hukum.
Selain itu, kasus ini menyoroti tantangan besar dalam tata kelola BUMD di sektor migas. Tanpa regulasi yang jelas dan transparan, risiko perselisihan hukum, konflik kepentingan, dan potensi penyalahgunaan dana menjadi tinggi. Hal ini menimbulkan tekanan terhadap aparat hukum untuk berhati-hati dalam menetapkan tersangka, karena keputusan yang salah bisa merugikan pihak-pihak yang tidak bersalah dan menimbulkan kerugian sistemik bagi BUMD dan pemerintah daerah.
Sejumlah akademisi hukum dan praktisi migas mendesak agar pemerintah daerah dan aparat penegak hukum segera memperjelas regulasi pengelolaan dana PI 10%, termasuk mekanisme transparansi, akuntabilitas, dan prosedur pengawasan. Mereka menekankan pentingnya payung hukum yang jelas sebelum kasus seperti PT LEB dijadikan model penegakan hukum di masa depan.
Publik kini menunggu klarifikasi lebih lanjut dari Kejati Lampung. Apakah kasus PT LEB akan menjadi preseden positif bagi pengelolaan BUMD migas di Indonesia, ataukah akan menjadi contoh kelam dari “eksperimen hukum” yang merugikan banyak pihak? Pertanyaan ini masih menggantung, sementara reputasi direksi PT LEB dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum di Lampung berada di ujung tanduk.***



