SAIBETIK— Kebijakan Pemerintah Kota (Pemkot) Bandar Lampung kembali menjadi sorotan publik, menyisakan pertanyaan serius terkait prioritas pembangunan dan tata kelola anggaran daerah. Dua isu utama yang tengah mengemuka adalah rencana pembentukan “Sekolah Siger” yang status legalitasnya masih abu-abu, serta pengalokasian dana hibah sebesar Rp60 miliar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk pembangunan gedung Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung.
Praktisi hukum Hendri Adriansyah SH, MH, menilai kebijakan ini menunjukkan adanya ketimpangan dalam perencanaan anggaran. “APBD seharusnya menjadi instrumen untuk memajukan kesejahteraan masyarakat. Mengalokasikan Rp60 miliar untuk gedung Kejati yang merupakan lembaga vertikal di bawah pemerintah pusat, bukan daerah, menunjukkan prioritas yang keliru,” tegas Hendri.
Dana sebesar itu, menurut pengamat, seharusnya diarahkan untuk menuntaskan masalah yang langsung menyentuh warga, seperti perbaikan infrastruktur drainase, peningkatan layanan pendidikan dan kesehatan, serta program pengentasan kemiskinan yang masih menjadi persoalan utama di kota Bandar Lampung. Fakta menunjukkan bahwa setiap musim hujan, banjir masih kerap melumpuhkan aktivitas warga akibat buruknya sistem drainase dan minimnya pengelolaan sampah. Kondisi ini menimbulkan kerugian ekonomi sekaligus mengganggu keseharian masyarakat.
Sementara itu, proyek Sekolah Siger menimbulkan kontroversi tersendiri. Dari sisi hukum dan regulasi, sekolah ini belum memiliki kejelasan terkait akreditasi, kurikulum, serta tata kelola yang transparan. “Tanpa regulasi yang jelas dan mekanisme pengawasan yang ketat, sekolah ini berpotensi hanya menjadi proyek simbolis yang tidak berkelanjutan,” ujar Hendri. Banyak pihak mempertanyakan urgensi pembentukan sekolah ini, terutama dibandingkan kebutuhan mendesak di sektor pendidikan yang lebih luas, seperti peningkatan kualitas guru, fasilitas belajar, dan akses pendidikan bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu.
Fenomena ini dinilai mencerminkan pola kebijakan Pemkot Bandar Lampung yang lebih fokus pada pencitraan dan proyek-proyek populis daripada menyelesaikan persoalan struktural yang riil. Praktisi hukum dan sejumlah pengamat kebijakan publik menyoroti bahwa keputusan alokasi anggaran yang tidak transparan dan kurang berbasis kebutuhan masyarakat justru meningkatkan risiko manipulasi dan rendahnya akuntabilitas publik.
Partisipasi masyarakat dalam pengawasan anggaran dinilai menjadi kunci untuk memperbaiki kondisi ini. Hendri menekankan pentingnya keterlibatan publik dalam setiap tahap perencanaan, penganggaran, dan evaluasi kebijakan. “Setiap rupiah dari uang rakyat harus digunakan secara bertanggung jawab dan berorientasi pada manfaat nyata. Tidak ada ruang untuk proyek simbolis yang tidak menjawab kebutuhan masyarakat,” ujarnya.
Dengan latar belakang tersebut, banyak pihak menuntut Pemkot Bandar Lampung melakukan audit menyeluruh terhadap prioritas anggaran, memastikan dana publik benar-benar digunakan untuk pembangunan yang berdampak langsung, dan meninjau ulang proyek-proyek yang menimbulkan kontroversi. Jika langkah ini tidak diambil, publik menilai kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah bisa terus menurun, sementara persoalan dasar seperti banjir, pendidikan, dan layanan kesehatan tetap tertinggal.***