SAIBETIK— Dewan Pendidikan Lampung kini memasuki masa seleksi pengurus periode 2025-2030, dan tugas yang menanti terbilang berat serta penuh kontroversi. Meski hingga kini belum jelas di mana kantor atau sekretariat resminya, pengurus baru diharapkan mampu menunjukkan kapasitas, kredibilitas, dan akuntabilitas dalam menangani persoalan pendidikan yang kian kompleks di Lampung.
Pendidikan di Lampung saat ini tengah menjadi sorotan publik karena sejumlah polemik serius. Salah satu isu paling mencuat adalah munculnya sekolah ilegal dan liar bernama Siger, yang berada di bawah Yayasan Siger Prakarsa Bunda. Sekolah ini diduga memanfaatkan bangunan, sarana, dan prasarana milik SMP Negeri 38 dan SMP Negeri 44 Bandar Lampung tanpa adanya administrasi resmi dari pemerintah. Lebih mengejutkan lagi, Plh Kepala Sekolah yang menempati posisi formal di kedua SMP negeri tersebut disebut-sebut terlibat tanpa perizinan resmi dari instansi terkait.
Keberadaan sekolah ini menimbulkan kekhawatiran serius karena sampai saat ini belum memiliki izin resmi dan belum terdaftar dalam sistem dapodik, namun tetap menggelar Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). Ironisnya, belum ada tindakan tegas dari DPRD maupun aparat penegak hukum untuk menutup sekolah yang konon dibentuk atas kebijakan Wali Kota Bandar Lampung Eva Dwiana, yang kini akrab disapa dengan julukan “The Killer Policy”.
Lebih memprihatinkan, sekolah ilegal tersebut disebut-sebut menggunakan dana APBD Pemkot Bandar Lampung. Sementara itu, sejumlah SMA swasta justru tidak menerima BOSDA pada 2025, dan pada 2026, seluruh SMA/SMK swasta dipastikan tidak memperoleh BOP. Situasi ini menimbulkan ketidakadilan dan ketimpangan yang serius di sektor pendidikan, di mana sekolah swasta yang seharusnya menjadi alternatif pilihan justru dirugikan.
Selain itu, Dewan Pendidikan Lampung juga harus menangani kisruh antara sekolah negeri dan swasta terkait pembukaan jurusan baru. Pada tahun ajaran 2026/2027, Disdikbud Lampung berencana membuka jurusan baru dan membangun SMK Seni di Taman Budaya. Kepala sekolah swasta menilai langkah ini akan mempersulit mereka dalam mendapatkan murid baru, karena persaingan ketat dan minimnya subsidi pemerintah. Dampaknya, banyak sekolah swasta berpotensi tutup akibat keterbatasan siswa dan dukungan finansial.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana Dewan Pendidikan Lampung periode 2025-2030 akan mengatur regulasi agar pendidikan berjalan adil dan berkualitas? Selain mengatur sekolah ilegal, pengurus baru juga dihadapkan pada tantangan menyeimbangkan kepentingan sekolah negeri dan swasta, mengawasi distribusi dana pemerintah, serta memastikan setiap kebijakan pemerintah tidak merugikan satu pihak.
Dengan kompleksitas masalah yang ada, pengurus baru Dewan Pendidikan Lampung dituntut memiliki kemampuan strategis, keberanian mengambil keputusan, serta transparansi dalam setiap langkah kebijakan. Keberadaan sekolah ilegal, pembukaan jurusan baru, dan ketimpangan subsidi pemerintah menjadi ujian pertama bagi pengurus yang akan datang.
Saat ini, publik pun menunggu kepastian terkait lokasi kantor sekretariat Dewan Pendidikan Lampung dan langkah nyata yang akan diambil pengurus baru dalam menata pendidikan Lampung agar lebih adil, transparan, dan berkualitas. Apakah pengurus baru mampu menghadapi semua tantangan ini dan memulihkan kepercayaan masyarakat? Waktu akan menjadi saksi.***