SAIBETIK– Praktik perpindahan siswa dari sekolah swasta ke sekolah negeri kembali menjadi sorotan publik. Kasus terbaru terjadi pada awal tahun ajaran 2025/2026, ketika seorang siswa kelas 10 SMK Swasta nyaris diterima di SMK Negeri di Kota Bandar Lampung tanpa melalui proses seleksi resmi. Kejadian ini memicu peringatan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung mengenai pentingnya menjaga integritas sistem pendidikan dan menghindari kerugian psikologis bagi siswa.
Kejadian bermula pada Rabu, 3 September 2025, ketika pihak sekolah negeri mengeluarkan surat keterangan penerimaan murid baru yang berasal dari SMK Swasta. Proses ini dilakukan tanpa memperhatikan aturan yang berlaku, termasuk ketentuan zonasi, seleksi akademik, dan persyaratan administrasi yang seharusnya wajib dipenuhi oleh calon siswa. Siswa kelas 10 seharusnya belum diperbolehkan pindah ke sekolah negeri karena aturan hanya mengizinkan perpindahan untuk kelas 11.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung, Thomas Amirico, mengungkapkan bahwa pihaknya baru mengetahui persoalan ini pada Jumat, 5 September 2025, sekitar pukul 20.00 WIB. Setelah menelusuri data dan berkonsultasi dengan jajarannya, ternyata permohonan perpindahan telah sampai ke dinas, namun Kepala Bidang terkait menolak karena tidak sesuai aturan. Thomas menegaskan, “Yang boleh pindah itu anak kelas 11, kalau kelas 10 tidak kami izinkan. Cerita sebenarnya begini: orang tua murid memang datang memohon, tapi aturan jelas melarang.”
Meski begitu, indikasi bahwa Kepala SMK Negeri tidak mengindahkan penolakan atau alasan lain yang belum terang sempat membuat proses perpindahan hampir berjalan. Kepala sekolah tersebut telah menandatangani surat penerimaan murid tanpa melalui mekanisme resmi. Praktik semacam ini memunculkan potensi kerugian bagi pihak sekolah swasta, yang merasa anak didiknya digunakan sebagai “batu loncatan” untuk mendapatkan kuota di sekolah negeri.
Beruntung, pihak sekolah swasta yang mengetahui hal ini cepat bertindak sehingga SMK Negeri akhirnya membatalkan surat penerimaan tersebut. Thomas Amirico menegaskan bahwa kepala sekolah negeri yang bersangkutan telah menerima teguran keras. Ia menekankan pentingnya koordinasi dan disiplin dalam menjalankan aturan pendidikan, demi melindungi psikologi siswa dan menjaga keadilan bagi semua pihak.
Kejadian ini menyoroti dua isu utama: pertama, penggunaan APBD sebagai fasilitas pendidikan yang rentan disalahgunakan apabila sistem tidak dijaga dengan ketat; kedua, potensi kerugian psikologis bagi siswa yang terlibat. Siswa yang telah mengikuti seleksi ketat di SMK Negeri akan mengalami stres tambahan ketika ada “penumpang gelap” yang masuk tanpa prosedur resmi. Hal ini dapat memengaruhi motivasi belajar, rasa percaya diri, dan hubungan sosial di lingkungan sekolah.
Thomas Amirico juga menekankan perlunya kesadaran bersama dari seluruh stakeholder pendidikan, termasuk kepala sekolah, guru, orang tua, dan pengawas pendidikan. “Sekolah swasta harus aktif melaporkan setiap kejanggalan, begitu juga orang tua yang merasa dirugikan, baik ke aparatur berwenang maupun lembaga independen,” ujarnya.
Selain teguran, perdebatan muncul terkait kemungkinan adanya sanksi administratif bahkan pidana bagi pejabat yang melanggar aturan, khususnya bagi kepala sekolah negeri yang terbukti sengaja memfasilitasi perpindahan ilegal. Tujuannya jelas: agar praktik “siswa batu loncatan” tidak terulang dan setiap anak yang pindah sekolah melalui prosedur resmi yang adil.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa setiap kebijakan pendidikan harus dilaksanakan secara transparan dan bertanggung jawab. Tidak hanya menyangkut anggaran APBD, tetapi juga psikologi anak, integritas lembaga pendidikan, dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem sekolah negeri. Ke depannya, diharapkan mekanisme perpindahan siswa lebih diawasi dan setiap pelanggaran segera ditindak agar pendidikan di Lampung tetap berkualitas dan adil.***