SAIBETIK- Puisi berjudul Guru Jongkok di atas Regulasi karya penyair muda asal Bandar Lampung: Muhammad Alfariezie, hadir dengan bahasa yang lugas, satir, sekaligus brutal.Ia menabrak pakem kesopanan sastra konvensional dan memilih jalur yang lebih liar: mengobrak-abrik simbol guru, regulasi, dan kehormatan moral dengan metafora tubuh yang keras.
Guru Jongkok di atas Regulasi
Lebih baik Anda berhenti menjadi
guru daripada mengajar sambil
jongkok di atas regulasi
Apa toh enggak lelah-kebas
kesemutan berbulan-bulan sudah
kencing di lembar-lembar
miliaran rupiah
Anda seperti tersantet! Tidak lagi
mulia mendidik dan sekarang
malah lepas berani! Mungkin
lebih dari berzinah
Di depan murid dan enggak peduli
ragam media menulis judul skandal
Anda pamer kemaluan di lingkungan
remaja
Bandar Lampung, 2025
Tema dan Gagasan Utama
Tema utama puisi ini adalah kritik terhadap kemerosotan moral seorang guru yang dianggap “jongkok di atas regulasi”.
Ungkapan itu menegaskan gambaran seorang pendidik yang tidak lagi berdiri tegak di atas aturan, melainkan mempermainkan aturan demi kepentingan pribadi. Kritiknya tidak berhenti pada aspek administratif, tetapi merembes pada kehormatan profesi guru yang seharusnya menjadi teladan moral.
Diksi dan Gaya Bahasa
Puisi ini menonjolkan diksi vulgar dan metafora tubuh: jongkok, kencing, pamer kemaluan.
Pemilihan kata yang ekstrem tidak dimaksudkan sekadar menjijikkan, melainkan untuk mengguncang kesadaran pembaca.
Sang penyair menolak diksi halus—seperti lazimnya puisi pendidikan—dan memilih “kata-kata keras” sebagai senjata kritik.
Selain vulgaritas, penyair juga menggunakan perbandingan mistis dan religius: tersantet, lebih dari berzinah.
Di sini, tubuh dan dosa dilebur menjadi satu untuk mempertegas betapa rendahnya posisi moral si tokoh guru dalam imajinasi satir penyair.
Struktur dan Formula
Struktur puisi ini mengikuti formula satir:
Judul provokatif → menyingkap konflik.
Ultimatum keras → seruan berhenti menjadi guru.
Metafora tubuh → degradasi moral.
Eskalasi dosa → kriminalitas sosial.
Klimaks vulgar → skandal telanjang.
Formula ini membuat puisi terasa seperti orasi sastrawi yang semakin menekan hingga mencapai ledakan satir di akhir.
Nilai Kritik Sosial
Puisi ini jelas bukan sekadar luapan emosi personal. Ia menyentil realitas sosial pendidikan di mana regulasi sering dijadikan alat manipulasi.
Guru yang semestinya berdiri sebagai penjaga moral justru dipotret melakukan pelanggaran yang lebih rendah dari sekadar kesalahan administratif: ia dituding merusak generasi di depan murid-muridnya sendiri.
Di sini terlihat fungsi puisi sebagai alat kritik sosial yang tidak segan-segan menguliti simbol yang biasanya sakral, yakni guru.
Estetika Satir
Apakah puisi ini indah? Dalam pengertian konvensional—tidak. Tetapi keindahannya justru terletak pada keberanian estetik: melanggar tabu, menyajikan ironi dengan vulgaritas, dan memaksa pembaca menelan rasa muak demi merenungkan kritiknya.
Estetika semacam ini sejalan dengan tradisi satir-sarkastik dalam sastra, yang memang bertujuan mengguncang, bukan menenangkan.
Guru Jongkok di atas Regulasi adalah puisi satir yang memanfaatkan metafora tubuh dan vulgaritas sebagai senjata kritik. Ia menelanjangi figur guru yang menyalahgunakan regulasi, hingga kehilangan martabat sebagai pendidik. Kritiknya tajam, meski mungkin menimbulkan rasa tidak nyaman.
Justru di situlah letak daya dobrak puisinya: ia menghadirkan sastra bukan untuk memanjakan, melainkan untuk menohok kesadaran moral publik.***