SAIBETIK- Dalam jagat perpuisian Indonesia kontemporer, muncul nama baru yang menjanjikan: Muhammad Alfariezie, penyair muda berbakat asal Bandar Lampung.
Salah satu karyanya, puisi berjudul “Dewa Berenang di Awan”, memperlihatkan sikap puitik yang matang, tajam, dan berani. Dengan gaya bahasa yang konfrontatif, Alfariezie menyuguhkan renungan mengenai cinta yang tidak berkutat pada romantisme permukaan, melainkan menembus batas eksistensial manusia.
Dewa Berenang di Awan
Seberapa dalam Anda menyelami
cinta? Sedasar samudera
berarti yang berbicara ini bukan
lagi manusia sedangkan Dewa
mungkin hanya berenang di awan
sebab sedalam-dalam mencinta
adalah mati seperti para pembunuh
diri dari gedung paling tinggi dan
sedalam-dalam mencinta adalah
mati seperti mereka di Palestina
Cinta kita yang sering bercanda dan
tertawa dalam kepalsuan rindu bahkan
belum sebatas berenang
di jarak aman
Berhentilah membual! Anda bahkan
belum pernah tergores karang
2025
Cinta sebagai Ruang Uji Kedalaman
Puisi ini dibuka dengan pertanyaan reflektif sekaligus kritis:
“Seberapa dalam Anda menyelami cinta?”
Pertanyaan tersebut menjadi premis sekaligus kritik terhadap manusia modern yang sering mengklaim mencinta tanpa memahami kedalaman emosional dan konsekuensi yang menyertainya. Alfariezie menggunakan metafora laut—“sedasar samudera”—untuk menunjukkan bahwa cinta sejati menuntut totalitas, bahkan sampai menghapus identitas diri.
Samudera di sini bukan sekadar ruang natural, tetapi simbol kedalaman psikologis dan spiritual. Menariknya, penyair membandingkan kedalaman cinta manusia dengan dewa yang “berenang di awan”, simbol ringan dan terapung, yang menunjukkan bahwa bahkan entitas mitologis pun tidak mengenal kedalaman sejati—sebuah bentuk demitologisasi puitik.
Romantika yang Dibenturkan pada Kematian
Alfariezie melanjutkan dengan gambaran ekstrem:
“sedalam-dalam mencinta adalah mati seperti para pembunuh diri dari gedung paling tinggi”
“sedalam-dalam mencinta adalah mati seperti mereka di Palestina”
Di sini, cinta diparalelkan dengan kematian, dalam konteks personal dan kolektif. Penyair menantang pembaca dengan menggabungkan tragedi personal dan tragedi kemanusiaan, menjadikan cinta sebagai ruang pengorbanan mutlak, bukan sekadar perasaan lembut. Nuansa ini mengingatkan pada tradisi sufistik, namun dibawa dengan sentuhan kontemporer dan politis.
Ironi Cinta Modern: Dangkal, Aman, dan Berjarak
Puisi juga menyentil kehidupan modern:
“Cinta kita yang sering bercanda … bahkan belum sebatas berenang di jarak aman”
Alfariezie mengkritik generasi yang mengglorifikasi rindu dan luka lewat media sosial, tapi tidak pernah menyelami kedalaman cinta yang sesungguhnya. Metafora laut kembali digunakan—“berenang di jarak aman”—menegaskan bahwa cinta modern cenderung dangkal dan penuh simulasi.
Teguran sebagai Penutup: Retorika yang Menggugat Kejujuran
Puisi ditutup dengan retorika kuat:
“Berhentilah membual! Anda bahkan belum pernah tergores karang”
Retorika ini bukan sekadar kemarahan, tetapi ajakan untuk menghentikan klaim cinta yang berlebihan. Karang menjadi simbol luka pertama yang harus dialami oleh siapa pun yang benar-benar menyelam dalam cinta, menutup struktur puitik dengan kohesi: pertanyaan, kritik, ironi, dan teguran moral.
Kesimpulan: Penyair Muda dengan Ketajaman Estetik
Puisi “Dewa Berenang di Awan” menunjukkan bahwa Muhammad Alfariezie memiliki:
1. Keberanian tematik—mengaitkan cinta dengan kematian dan konteks politik.
2. Kematangan metaforis—simbol samudera, awan, dan karang konsisten dan kaya makna.
3. Nada puitik yang kuat—konfrontatif, reflektif, dan langsung.
Karya ini membuktikan bahwa Bandar Lampung tidak hanya melahirkan penyair, tetapi juga pemikir puitik yang mampu mengolah bahasa menjadi wadah kritik eksistensial. Alfariezie patut diperhitungkan sebagai salah satu suara segar dalam sastra Indonesia kontemporer.***






