SAIBETIK— Pernah ngerasa nostalgia tiba-tiba menyerbu ketika melihat senyum seseorang? Puisi Muhammad Alfariezie, Remaja Itu Tidak Pernah Mati, Hanya Bersembunyi, menangkap perasaan itu dengan cara yang bikin pembaca terhanyut. Bukan cuma soal umur atau fase kehidupan, puisi ini menempatkan remaja sebagai “modus eksistensi”—suatu reservoir emosi yang tetap laten dalam diri manusia, siap muncul kapan saja.
Dalam puisi ini, diksi Alfariezie memadukan intimasi, nostalgia, dan sensualitas tersublimasi, menghadirkan pengalaman remaja sebagai energi afektif yang terus hidup, bukan sekadar memori temporal. Fragmentasi kata, enjambemen yang terputus-putus, dan perpaduan bahasa formal dengan vernakular seperti kata musykil dan enggak menghadirkan ketegangan antara refleksi dewasa dan spontanitas masa muda, menciptakan efek realistis sekaligus autentik.
Salah satu bait yang menonjol:
Remaja Itu Tidak Pernah Mati
Hanya Bersembunyi
Senyum yang menggairahkan! Selalu
melihatmu tersenyum, saya merasa
remaja
Kata-kata sederhana ini mengundang pembaca masuk ke dunia psikis yang sama dengan subjek puisi. Senyum, kehadiran, dan pengalaman sehari-hari—seperti ketika hari raya, kita hanya di rumah—menjadi pemicu nostalgia yang bukan sekadar kenangan manis, tapi juga refleksi afektif. Subjek puisi kembali ke vitalitas masa muda melalui stimulus yang sederhana, membangkitkan kembali energi emosional yang tersimpan.
Dari perspektif psikoanalitik, puisi ini menampilkan mekanisme regresi estetis: libido dan hasrat masa muda disublimasikan menjadi emosi dan rindu eksistensial, bukan semata-mata erotis. Kata-kata seperti ranum, menggairahkan, dan frase saya merasa remaja memberi warna psikologis yang kaya—menghubungkan pengalaman afektif dengan kepekaan terhadap dunia sekitar.
Puisi Alfariezie juga menegaskan kritik halus terhadap konstruksi kedewasaan modern. Masa muda bukan sesuatu yang hilang dengan bertambahnya usia, melainkan tersembunyi di balik rutinitas dan tanggung jawab. Puisi ini menolak paradigma linear usia dan menghadirkan waktu afektif yang bersirkulasi—di mana kedewasaan tidak memutus hubungan dengan spontanitas, kerentanan, dan kepekaan emosional masa muda.
Secara estetika, *Remaja Itu Tidak Pernah Mati, Hanya Bersembunyi adalah studi tentang bagaimana pengalaman remaja bisa tetap hidup melalui bahasa, struktur, dan sensasi. Fragmen-fragmen patah, diksi campuran, dan ritme enjambemen menciptakan ketidakteraturan emosional yang justru menandai autentisitas pengalaman manusia. Puisi ini bukan sekadar nostalgia; ia adalah pernyataan kemanusiaan: tentang cinta yang tidak menua, memori yang tidak tunduk pada kalender, dan remaja yang tidak pernah benar-benar pergi.
Bagi pembaca muda maupun dewasa, puisi ini membuka ruang refleksi: mungkin kita semua masih menyimpan “remaja” di dalam diri, hanya menunggu momen sederhana untuk muncul kembali.***










