SAIBETIK- Publik Lampung saat ini menaruh perhatian besar pada perkembangan kasus dugaan pelanggaran Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 oleh SMA Siger Bandar Lampung. Sorotan semakin tajam setelah Reskrimsus Polda Lampung pada Oktober dan November menerima Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) untuk mengusut penyelenggaraan sekolah yang beroperasi tanpa izin dan menggunakan aset pemerintah. Di tengah banyaknya pertanyaan, masyarakat menanti siapa saja pihak yang akan ditetapkan sebagai pelaku, dalang intelektual, hingga oknum yang turut serta dalam rangkaian pelanggaran tersebut.
Pemahaman mengenai struktur pelaku dalam hukum pidana menjadi penting untuk melihat gambaran peran masing-masing pihak dalam kasus ini. Dalam ranah hukum Indonesia, kategori pelaku terbagi menjadi tiga: Pelaku langsung (Pleger), Otak Pelaku (Doen Pleger), dan mereka yang Turut Serta (Medepleger). Pembagian ini memudahkan aparat penegak hukum mengurai peran secara lebih terstruktur dan menentukan tingkat pertanggungjawaban pidana setiap individu.
Pelaku atau Pleger adalah pihak yang melakukan tindakan pidana secara langsung. Misalnya seseorang yang menggunakan senjata tajam untuk melukai orang lain—dialah pelaku utama. Otak pelaku atau Doen Pleger berada pada posisi berbeda. Ia tidak turun tangan secara langsung, namun bertindak sebagai perencana, pemberi instruksi, atau sosok yang mengendalikan seluruh aksi. Gambaran paling umum adalah mafia yang memerintahkan bawahannya melakukan tindakan kriminal. Sementara pihak yang turut serta atau Medepleger adalah mereka yang bersama-sama melakukan tindak pidana dengan kesadaran bekerja dalam satu kolaborasi kejahatan. Semua kategori ini relevan digunakan untuk membedah dugaan pelanggaran dalam penyelenggaraan SMA Siger.
Kronologi dugaan pelanggaran ini bermula sekitar Juni hingga awal Juli. Kemunculan SMA Siger Bandar Lampung berawal dari inisiasi langsung Wali Kota Bandar Lampung, Eva Dwiana. Ia bahkan menyampaikan secara terbuka bahwa Pemerintah Kota Bandar Lampung akan menyalurkan dana operasional untuk mendukung kegiatan pendidikan di sekolah tersebut. Namun di balik pernyataan tersebut, muncul sejumlah kejanggalan yang kemudian terkuak satu per satu.
Berdasarkan penelusuran sejumlah pihak, termasuk keterangan pejabat dan lembaga terkait, diketahui bahwa SMA Siger mulai beroperasi tanpa legalitas yang jelas. Salah satu temuan paling mencolok adalah pelaksanaan SPMB yang terjadi pada tanggal 9–10 Juli, sementara akta notaris yayasannya baru terdaftar pada 31 Juli. Dengan demikian, secara hukum kegiatan tersebut tidak memiliki dasar legal yang sah.
Selain itu, sejak Agustus hingga November, Kadis Dikbud Provinsi Lampung secara konsisten menyatakan tidak mengakui keberadaan SMA Siger karena pihak yayasan belum menyerahkan dokumen perizinan sebagaimana diwajibkan. Keterangan serupa juga diberikan Kadis DPMPTSP dalam jawaban tertulis kepada LSM GPHKN, yakni bahwa yayasan tidak pernah mengajukan izin usaha atau penyelenggaraan pendidikan. Dua pernyataan resmi dari lembaga yang berwenang ini sudah menggambarkan adanya pelanggaran mendasar.
Pada perkembangan selanjutnya, muncul fakta bahwa SMA Siger tetap berjalan menggunakan fasilitas yang jelas-jelas merupakan aset pemerintah. Kepala sekolah pelaksana harian berasal dari SMP Negeri 38 dan SMP Negeri 44, begitu pula dengan para guru yang mengajar di sekolah tersebut. Seluruh operasional menggunakan tenaga pendidik dan fasilitas sarana prasarana dari instansi pendidikan milik Pemkot Bandar Lampung, yang semestinya tidak boleh digunakan untuk kepentingan sekolah swasta tanpa mekanisme resmi.
Lebih jauh, dokumen resmi Kemenkumham menunjukkan bahwa Yayasan Siger Prakarsa Bunda dimiliki oleh sejumlah nama yang berhubungan langsung dengan pemerintah kota. Di antaranya adalah Eka Afriana—Plt Disdikbud sekaligus Asisten Setda Pemkot Bandar Lampung, serta saudari kembar Wali Kota Bandar Lampung. Selain itu terdapat nama mantan Plt Sekda Bandar Lampung, Khaidarmansyah, dan Plt Kasubag Aset dan Keuangan Disdikbud Kota Bandar Lampung, Satria Utama. Dua lainnya tercatat sebagai Agus Didi Bianto dan Suwandi Umar. Struktur kepemilikan yayasan inilah yang kemudian menimbulkan pertanyaan serius mengenai adanya potensi konflik kepentingan sekaligus penyalahgunaan jabatan.
Pernyataan pejabat terkait anggaran juga semakin memperkeruh dugaan pelanggaran. Ketua Komisi V DPRD Lampung, Asroni Paslah, Kabid Dikdas Disdikbud, Mulyadi, serta Kabid Anggaran BKAD Bandar Lampung, Cheppi, memberikan keterangan yang saling bertentangan mengenai alur pendanaan SMA Siger. Hal ini memperlihatkan bahwa terdapat ketidakterbukaan dalam pengelolaan dana yang diduga melibatkan sumber daya pemerintah untuk mendukung sekolah yang statusnya belum legal.
Masyarakat berharap kasus ini tidak berakhir pada kesimpulan samar seperti yang pernah terjadi pada kasus dugaan pemalsuan identitas CPNS yang melibatkan Eka Afriana. Publik menginginkan penyelidikan yang tuntas, tegas, dan transparan untuk membongkar siapa pelaku langsung, siapa otak intelektualnya, serta siapa saja yang turut serta menjalankan sekolah tanpa izin ini.
Artikel ini hanya menguraikan fakta-fakta publik yang telah muncul ke permukaan, sementara penetapan pelaku dan unsur-unsur hukum lainnya merupakan ranah penyidik Polda Lampung. Namun satu hal yang pasti: publik menuntut kejelasan, keadilan, dan pertanggungjawaban dari pihak-pihak yang diduga menyalahgunakan kewenangannya.***









