SAIBETIK — Prestasi gemilang datang dari Universitas Lampung. Dua mahasiswa, Salsa Bila Wijaya dan Ryan Mukti Sasongko, berhasil mengharumkan nama kampus dan Provinsi Lampung di ajang The 5th ASEAN International Conference on Energy and Environment (AICEE) 2025 yang berlangsung di Kuala Lumpur Convention Centre (KLCC), Malaysia, pada 15–17 Oktober 2025.
Keduanya menjadi wakil Indonesia dalam forum internasional bergengsi yang mempertemukan akademisi, peneliti, praktisi, dan pembuat kebijakan se-ASEAN. Dalam sesi bertajuk Just and Inclusive Energy Transition, Salsa dan Ryan tampil sebagai presenter utama, memaparkan hasil penelitian mereka yang menyoroti kesenjangan gender dalam kebijakan energi di Asia Tenggara.
Penelitian berjudul “Gender Disparities and Energy Sustainability: Women as Catalysts in Indonesia, Vietnam, and Philippines’ Renewable Transitions” ini menekankan bahwa sebagian besar kebijakan energi di kawasan ASEAN masih “gender-blind” dan belum melibatkan perempuan secara optimal dalam perencanaan dan implementasi transisi energi. Salsa menjelaskan bahwa peran perempuan dalam energi sangat strategis karena mereka tidak hanya konsumen energi, tetapi juga agen perubahan sosial dan ekonomi yang dapat mempercepat transisi energi berkelanjutan.
“Kami ingin menunjukkan bahwa transisi energi bukan hanya soal teknologi atau ekonomi. Ia juga menyangkut keadilan sosial dan keterlibatan semua pihak, termasuk perempuan,” ujar Salsa Bila Wijaya, mahasiswa Fakultas Hukum Unila, saat mempresentasikan temuannya di hadapan panelis dan peserta internasional.
Sementara itu, Ryan Mukti Sasongko dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik menegaskan pentingnya dukungan institusi terhadap riset mahasiswa. “Prestasi akademik akan tumbuh bila kampus memberikan kepercayaan dan dukungan. Pengalaman ini membuktikan bahwa mahasiswa dari daerah pun bisa bersuara di forum global,” ungkap Ryan.
Dalam sesi presentasi di Room 302 pada hari pertama konferensi, mereka memaparkan empat pilar utama dari ASEAN Gender-Responsive Energy Transition Framework (AGRETF), yaitu Capacity Building and Education, Inclusive Decision-Making, Economic Empowerment, serta Gender-Sensitive Monitoring and Evaluation. Sesi berlangsung interaktif dengan banyak tanggapan dari panelis dan peserta, termasuk perwakilan ASEAN Centre for Energy (ACE) dan Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA). Panelis menilai penelitian mereka sebagai kontribusi penting dalam memperkaya perspektif sosial dalam kebijakan energi kawasan.
Perjalanan Salsa dan Ryan menuju Kuala Lumpur tidak mudah. Di awal, mereka menghadapi kendala pendanaan dan skeptisisme sebagian pihak terhadap relevansi kegiatan ini. Dukungan datang dari Pemerintah Provinsi Lampung melalui Gubernur Rahmat Mirzani Djausal yang memfasilitasi keberangkatan mereka. Salsa menyatakan bahwa dukungan tersebut menjadi motivasi besar untuk membuktikan kemampuan mahasiswa Lampung di tingkat ASEAN.
AICEE 2025 merupakan bagian dari rangkaian KTT ASEAN ke-47, terintegrasi dengan ASEAN Business Forum dan ASEAN Minister on Energy Meeting. Konferensi mengusung tema Advancing Low-Carbon Development through Inclusive Regional Cooperation, dihadiri perwakilan kementerian energi negara ASEAN, lembaga internasional seperti GIZ, serta pemimpin tinggi kawasan, termasuk Perdana Menteri Malaysia Dato’ Seri Anwar Ibrahim dan Menteri ESDM RI Bahlil Lahadalia. Puncak acara ditandai dengan peluncuran ASEAN Plan of Action for Energy Cooperation (APAEC), dokumen strategis yang menjadi peta jalan kerja sama energi berkelanjutan di Asia Tenggara.
Selain mempresentasikan riset, Salsa dan Ryan mengikuti sesi networking, poster showcase, serta kunjungan ke Universiti Kebangsaan Malaysia untuk belajar integrasi kebijakan energi ramah lingkungan dalam sistem pendidikan tinggi. Kegiatan ini memberi pengalaman berharga tentang kolaborasi regional, inovasi energi, dan praktik terbaik di bidang transisi energi rendah karbon.
Bagi Salsa dan Ryan, pengalaman ini bukan sekadar prestasi akademik, tetapi juga pembelajaran moral, keberanian, dan kerja sama internasional. Mereka menyadari bahwa keberhasilan tidak hanya diukur dari panggung konferensi, tetapi dari tekad untuk tetap berjuang meski menghadapi tantangan dan keterbatasan dukungan.
Kisah perjuangan kedua mahasiswa Unila ini menjadi inspirasi bagi generasi muda Lampung. Bahwa keberanian untuk tampil di forum internasional bukan mimpi mustahil, selama ada kerja keras, keyakinan, dan dukungan nyata dari berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah dan kampus. Keberhasilan mereka juga menegaskan bahwa isu sosial, gender, dan keadilan dalam kebijakan energi dapat menjadi fokus penting yang layak diperjuangkan di tingkat regional maupun global.***