SAIBETIK- Kontroversi panas terjadi di salah satu kota ketika Warga mencoba melaporkan dugaan penyelenggaraan Sekolah ilegal dan liar yang diduga dilakukan atas inisiasi Pejabat tinggi politik. Warga menuntut tindakan tegas dari Pegawai regulasi, karena sekolah tersebut belum memiliki izin resmi dan menggunakan aset pemerintah, termasuk tanah, bangunan, dan sarana prasarana negara.
Kejadian bermula ketika Warga melaporkan pelanggaran tersebut ke instansi hukum setempat. Namun, Warga merasa kecewa karena dokumen awal laporan tidak diberi cap resmi, sehingga menimbulkan keraguan atas keabsahan laporan. Pengetik dokumen menjelaskan bahwa biasanya Junior yang membuat dokumen penting, sehingga cap belum terpasang. Alasan ini tidak diterima Warga, yang menuntut bukti sahih dalam bentuk cap resmi.
Ketegangan meningkat ketika beberapa Pegawai hukum masuk ke ruang atasan dan menutup pintu berkaca gelap. Beberapa menit kemudian, Pengetik dokumen dipanggil ke ruang tertutup dan kembali mengetik di hadapan Pelapor. Setelah dokumen selesai, Warga menerima dokumen yang bercap resmi, namun isinya bukan laporan penegakan hukum, melainkan pengaduan masyarakat. Perubahan ini memicu kekecewaan mendalam. Salah seorang Pelapor berkata, “Untuk apa saya datang melapor kalau yang diterima hanya pengaduan masyarakat? Itu bisa saya buat sendiri di rumah.”
Pengetik mencoba menenangkan Warga dengan menjelaskan bahwa dokumen pengaduan akan ditindaklanjuti, dicetak dua, satu untuk Pelapor dan satu untuk instansi. Namun Warga tetap bersikeras meminta dokumen dilengkapi identitas pemberi, termasuk tanda tangan dan Nomor Registrasi Pegawai (NRP). Mereka menilai adanya indikasi manipulasi karena dokumen awal yang tidak dicap kemudian diubah menjadi pengaduan, dan penerima pengaduan tidak jelas identitasnya.
Setelah perjuangan panjang, Kepala ruangan memerintahkan agar surat pengaduan diserahkan kepada resepsionis divisi terkait. Warga akhirnya menerima serah terima resmi dari instansi regulasi, namun mereka tetap menuntut agar laporan yang telah diubah menjadi pengaduan segera mendapat tindak lanjut, tanpa terpengaruh kepentingan politik atau utang budi hibah. Warga menegaskan bahwa tujuan utama pelaporan adalah menegakkan hukum dan melindungi aset negara, bukan sekadar formalitas dokumen.
Di dalam divisi, terjadi perdebatan sengit ketika Warga mempertanyakan aturan yang mengatur pengubahan laporan menjadi pengaduan tertulis. Kepala divisi menjelaskan bahwa kasus pidana Sekolah ilegal termasuk Lex Specialis, sehingga Pegawai hukum telah menaati Peraturan Kepala Nomor sekian Tahun sekian. Pengaduan dibuat sebagai dasar verifikasi awal dan baru bisa diteruskan menjadi Laporan Penegakan Regulasi atau diteruskan ke instansi terkait.
Meski penjelasan ini diberikan, Warga tetap memantau perkembangan kasus dengan ketat. Mereka meneliti dokumen resmi, mencari referensi perundang-undangan, dan mendesak pihak regulasi untuk transparan dalam setiap tahap penyelesaian laporan. Warga menekankan bahwa pengubahan laporan menjadi pengaduan tidak boleh mengurangi urgensi penegakan hukum, apalagi jika terkait aset negara yang penting dan penyelenggaraan Sekolah yang merugikan publik.
Pertemuan akhirnya diakhiri dengan saling bersalaman, tetapi Warga berjanji untuk tetap mengawasi prosesnya. Mereka berencana melayangkan surat resmi kepada pimpinan instansi penegak regulasi agar laporan yang telah berubah menjadi pengaduan segera ditindaklanjuti, termasuk memberikan identitas penerima pengaduan dan bukti serah terima yang sah. Warga menegaskan bahwa mereka akan menuntut kepastian hukum sampai laporan tersebut diproses secara transparan dan profesional, tanpa intervensi politik maupun utang budi hibah.***