SAIBETIK – Situasi pendidikan di Bandar Lampung kini memanas. Sejumlah SMA/SMK swasta tengah menghadapi tekanan besar karena program door to door yang digagas camat dan lurah, yang bertujuan mengumpulkan data siswa dari sekolah-sekolah, mulai “memakan” korban. Stakeholder pendidikan, termasuk kepala sekolah dan guru, merasa resah dan khawatir karena langkah ini berpotensi merugikan sekolah swasta yang sudah berjuang keras mempertahankan eksistensinya.
“Beberapa hari lalu ada orang tua siswa kelas 10 datang meminta anaknya dikeluarkan dari dapodik karena ingin pindah ke sekolah Siger. Ini benar-benar luar biasa. Satu siswa itu sangat berharga bagi kami,” ujar seorang kepala sekolah yang meminta namanya dirahasiakan, Rabu, 3 September 2025. Pernyataan ini menegaskan betapa pentingnya setiap siswa bagi SMA/SMK swasta, terutama karena kompetisi untuk menarik siswa semakin ketat.
Jumlah lulusan SMP yang berpotensi masuk SMA/SMK Negeri mencapai sekitar 1.200 siswa, dan tanpa pengawasan kapasitas ruangan yang jelas, sekolah swasta harus memperebutkan sekitar 2.000 siswa tersisa. Dengan lebih dari 100 sekolah swasta di Bandar Lampung, persaingan untuk mendapatkan siswa semakin tajam. Praktisi pendidikan M. Arief Mulyadin menekankan bahwa jumlah ini tidak sebanding dengan kebutuhan sekolah swasta, terutama yang berskala kecil. “Wajar jika mereka mengatakan satu siswa sangat berharga,” katanya.
Situasi ini diperburuk dengan munculnya dugaan adanya upaya “suntik mati” terhadap sekolah swasta di Bandar Lampung. Indikasi ini terlihat dari kebijakan Wali Kota Bandar Lampung, yang mendapat julukan The Killer Policy, dalam menyelenggarakan SMA swasta ilegal bernama Siger tanpa memperhatikan aturan perundang-undangan. Beberapa regulasi yang dilanggar antara lain:
1. Permendikbudristek RI Nomor 36 Tahun 2014
2. Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 2001
3. Peraturan Pemerintah RI Nomor 66 Tahun 2010
4. Permendikdasmen Nomor 1 Tahun 2025
5. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
6. Perwali Kota Bandar Lampung Nomor 7 Tahun 2022
7. Perda Bandar Lampung Nomor 4 Tahun 2021
8. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
Bahkan, kebijakan ini dianggap berani “mengangkangi” keputusan Presiden RI ke-5 dan Menteri Pendidikan dari rezim saat ini. Dugaan muncul bahwa Eva Dwiana, sebagai Wali Kota, memerintahkan aparatur sipil negara, termasuk camat dan lurah, untuk melakukan door to door ke sekolah-sekolah dengan tujuan mencari siswa. Praktisi pendidikan menilai tindakan ini merupakan langkah culas untuk melemahkan sekolah swasta.
Bahkan pengakuan beberapa camat menunjukkan adanya agenda ganda dalam kegiatan door to door tersebut. Ada yang mengaku tujuan utama untuk sosialisasi sekolah Siger, sementara yang lain menyebut ingin menjaring siswa agar mendapat Program Indonesia Pintar (PIP). Namun, pejabat di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung menegaskan bahwa camat, lurah, maupun wali kota tidak memiliki kewenangan untuk mengajukan PIP. Ia juga mencurigai bahwa gerakan ini dimaksudkan untuk mengiming-imingi orang tua agar menyekolahkan anaknya di SMA swasta ilegal yang dibiayai APBD. Pejabat tersebut bahkan mengimbau agar sekolah swasta tidak menyerahkan data siswa kepada pihak-pihak yang melakukan kegiatan tersebut tanpa koordinasi resmi.
Akibatnya, kepala sekolah swasta kini resah karena murid-muridnya perlahan berpindah ke sekolah ilegal tersebut. Orang tua siswa yang ingin memasukkan anaknya ke Siger mungkin tidak mengetahui atau mengabaikan risiko besar dari sekolah yang belum terdaftar di dapodik. Sekolah ini belum memiliki izin resmi dari Dinas Pendidikan Provinsi Lampung, sehingga siswa yang bersekolah di sana berisiko tidak mendapatkan ijazah yang sah.
Kasus ini mengingatkan pada situasi Universitas Megou Pak Tulang Bawang, yang terpaksa memindahkan mahasiswa karena kementerian mencabut izin operasionalnya. Sama seperti Siger, universitas tersebut menggunakan dana APBD secara berkelanjutan, yang secara aturan tidak diperbolehkan. Perwali Kota Bandar Lampung Nomor 7 Tahun 2022 juga menegaskan bahwa dana hibah tidak bisa diberikan setiap tahun secara terus-menerus. Penyalahgunaan dana tersebut berpotensi menjerat penyelenggara dengan ancaman pidana hingga 10 tahun penjara dan denda Rp1 miliar sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003.
Dengan situasi ini, orang tua dan masyarakat seharusnya berhati-hati memilih sekolah bagi anak-anak mereka. Menyekolahkan anak di institusi ilegal berisiko mengancam masa depan pendidikan mereka, karena bukan hanya legalitas yang dipertaruhkan, tetapi juga kualitas dan keberlanjutan pendidikan itu sendiri. Ironisnya, sikap pemerintah daerah, termasuk Gubernur Lampung, terlihat acuh terhadap regulasi dan masa depan siswa, seolah provinsi ini memiliki kewenangan luar biasa di luar hukum nasional, sementara remaja pra-sejahtera menjadi pihak yang paling dirugikan.***