SAIBETIK – Dunia pendidikan di Kota Tapis Berseri kembali diguncang isu besar. Sebuah sekolah swasta bernama SMA Siger, yang kini dijuluki sebagai “SMA Hantu”, tengah menjadi sorotan publik. Di bawah kendali Wali Kota Eva Dwiana, yang dikenal dengan julukan The Killer Policy, sekolah ini dituding melanggar banyak aturan hukum dan merusak sistem pendidikan menengah atas di Bandar Lampung.
Kehadiran SMA Siger dianggap ilegal karena tidak tercatat dalam Data Pokok Pendidikan (Dapodik) dan tidak mendapatkan pengakuan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung, selaku pihak yang berwenang mengatur pendidikan menengah. Ironisnya, meski statusnya liar, Pemkot Bandar Lampung justru menggelontorkan anggaran untuk membiayai operasional dan pembangunan sekolah ini.
Situasi ini memperburuk kondisi sekolah swasta lain di Bandar Lampung yang tengah berjuang bertahan hidup. Banyak sekolah swasta resmi, seperti SMK PHD yang terpaksa menutup operasional hingga Bhakti Utama yang akhirnya terjual, kini semakin terpinggirkan. Padahal, dari sisa jumlah siswa yang tidak tertampung di SMA/SMK Negeri, hanya sekitar 2.000 murid yang kemudian diperebutkan oleh lebih dari 100 sekolah swasta.
Alih-alih memberikan subsidi kepada sekolah swasta agar bisa menggratiskan biaya pendidikan sekaligus menyejahterakan guru, Pemkot di bawah Eva Dwiana justru memilih menabrak aturan perundang-undangan. Bahkan, tahun 2025 pemerintah daerah tidak mengalokasikan anggaran BOSDA (Bantuan Operasional Sekolah Daerah) untuk SMA/SMK swasta. Ke depan, sekolah swasta resmi juga terancam tidak mendapat Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) karena lemahnya kondisi keuangan daerah.
Kebijakan kontroversial ini menimbulkan pertanyaan besar: masihkah ada keadilan bagi sekolah swasta yang selama ini taat aturan? Fakta di lapangan menunjukkan SMA Siger terindikasi melanggar setidaknya delapan regulasi penting, mulai dari Permendikbudristek Nomor 36 Tahun 2014, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, hingga Perda Bandar Lampung Nomor 4 Tahun 2021. Pelanggaran ini bukan sekadar persoalan administrasi, melainkan dapat berimplikasi hukum berat.
Sejumlah elemen masyarakat, mulai dari aktivis pendidikan, organisasi guru, hingga pemerhati hukum, kini mendesak aparat berwenang untuk turun tangan. Jika terbukti melanggar, penyelenggara SMA Siger bisa terjerat pidana hingga 10 tahun penjara serta ancaman denda miliaran rupiah karena dianggap menyalahi aturan sekaligus berpotensi menimbulkan kerugian negara.
Kritik juga muncul terkait sikap arogansi Wali Kota Eva Dwiana yang dinilai lebih mementingkan pencitraan politik ketimbang menyelamatkan ekosistem pendidikan lokal. Banyak pihak menilai, dengan tetap mengucurkan dana untuk sekolah ilegal ini, Pemkot seakan menutup mata terhadap penderitaan sekolah swasta yang sah secara hukum.
Di tengah sorotan tajam publik, masa depan SMA Siger masih menjadi tanda tanya besar. Apakah sekolah ini akan terus berjalan dengan status “liar”, atau justru akan ditindak tegas sesuai hukum yang berlaku? Publik kini menunggu langkah berani aparat hukum, termasuk pemerintah pusat, untuk mengembalikan marwah dunia pendidikan di Bandar Lampung yang dinilai semakin tercoreng akibat kebijakan kontroversial ini.***