SAIBETIK– YLBHI–LBH Bandar Lampung menyoroti pernyataan Kapolres Lampung Tengah yang menyebut telah “mengantongi nama-nama oknum provokator” dalam aksi spontan masyarakat tiga kampung dari Kecamatan Anak Tuha. Aksi tersebut dilakukan warga dalam rangka memperingati hari kemerdekaan dengan melakukan penanaman di lahan konflik bersama PT. BSA. Menurut YLBHI–LBH Bandar Lampung, pernyataan aparat justru melemahkan perjuangan rakyat dalam menuntut hak atas tanah yang telah berlangsung puluhan tahun dan mengalihkan fokus dari penyelesaian konflik agraria yang sebenarnya. Alih-alih menyelesaikan masalah struktural, aparat menebar stigma “provokator” dan memposisikan masyarakat seolah “ditunggangi” kepentingan segelintir pihak.
LBH Bandar Lampung menegaskan bahwa aksi penanaman yang dilakukan masyarakat adalah ekspresi wajar dari rakyat yang berusaha merebut kembali ruang hidup yang dirampas oleh korporasi. Menyebut adanya “provokator” adalah cara klasik aparat untuk menutup mata dari sejarah panjang konflik agraria di wilayah tersebut. Ribuan keluarga petani di Anak Tuha telah lama kehilangan hak hidup mereka akibat praktik perampasan lahan oleh PT. BSA, sehingga upaya mereka untuk kembali mengelola lahan merupakan bagian dari hak atas tanah yang diwariskan nenek moyang.
Menurut catatan LBH Bandar Lampung, tindakan Kapolres Lampung Tengah mencerminkan prioritas aparat yang lebih mengutamakan kepentingan bisnis daripada perlindungan hak rakyat. Aparat penegak hukum seharusnya hadir untuk menengahi konflik secara adil, bukan memperdalam penderitaan masyarakat melalui kriminalisasi dan memburu “oknum” yang dikonstruksi sepihak. Tuduhan provokator hanya akan melanggengkan represi, membungkam solidaritas warga, serta menjauhkan penyelesaian yang berkeadilan.
Keberpihakan aparat semakin terlihat melalui pemanggilan delapan warga tiga kampung sebagai saksi penyidikan, hanya sehari setelah aksi berlangsung. Surat pemanggilan tiba di rumah warga pada sore hari, sementara laporan polisi dengan nomor LP/B/50/VIII/2025/SPKT/POLSEK Padang Ratu/POLRES Lampung Tengah tertanggal 17 Agustus 2025 langsung dinaikkan ke tahap penyidikan. Fenomena ini menimbulkan tanda tanya besar karena laporan masyarakat seringkali dibiarkan berbulan-bulan hingga bertahun-tahun tanpa kepastian penyelesaian, sementara laporan perusahaan ditangani secara kilat. Dalam beberapa kasus, penyidik sampai salah menulis norma hukum yang digunakan dalam laporan perusahaan.
YLBHI–LBH Bandar Lampung menekankan bahwa, sesuai Perkapolri Nomor 6 Tahun 2019, penyelidikan adalah rangkaian tindakan untuk memastikan apakah peristiwa yang dilaporkan merupakan tindak pidana, sedangkan penyidikan adalah tindakan pengumpulan bukti untuk menemukan tersangka. Pada kasus Anak Tuha, tidak terdapat peristiwa tertangkap tangan, sehingga menaikkan status laporan ke penyidikan tanpa penyelidikan lengkap bertentangan dengan prosedur hukum dan mengabaikan prinsip keadilan. Jika tindakan tersebut benar-benar dianggap tindak pidana, pertanyaan muncul: mengapa aparat tidak langsung menindak ratusan warga yang melakukan kegiatan di lahan konflik?
LBH Bandar Lampung menegaskan bahwa konflik ini bukan perkara pidana, melainkan masalah struktural agraria yang telah berlarut-larut. Warga tiga kampung memiliki hak atas lahan yang telah dirampas dan berhak menanam, menggarap, dan hidup dari tanah mereka. Segala bentuk kriminalisasi melalui stigmatisasi, pemanggilan, intimidasi, maupun potensi penangkapan merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan perampasan ruang hidup rakyat. Penyelesaian konflik agraria di Anak Tuha harus dilakukan melalui dialog yang adil, transparan, dan mengedepankan kepentingan masyarakat yang selama puluhan tahun menderita akibat konflik ini. Negara tidak boleh kalah dengan kepentingan bisnis yang hanya menguntungkan segelintir orang dengan mengorbankan hak rakyat kecil.***