SAIBETIK- Penyelenggaraan SMA swasta Siger Bandar Lampung yang berada di bawah naungan Yayasan Siger Prakarsa Bunda terus menuai sorotan publik. Sekolah yang dikaitkan dengan kebijakan Wali Kota Bandar Lampung Eva Dwiana ini dinilai belum menunjukkan kejelasan tata kelola, khususnya terkait legalitas, pembiayaan operasional, serta kepastian nasib guru dan peserta didik.
Sorotan menguat setelah Komisi IV DPRD Kota Bandar Lampung menolak pengajuan anggaran sebesar Rp1,35 miliar yang diajukan melalui Disdikbud untuk mendukung operasional SMA Siger. DPRD memilih mengalihkan anggaran tersebut guna menambah dana Bantuan Operasional Sekolah Daerah (BOSDA), yang sebelumnya hanya dianggarkan sekitar Rp6,5 miliar dan dinilai masih belum mencukupi untuk menggratiskan biaya komite siswa SMP negeri se-Kota Bandar Lampung.
Penolakan DPRD juga didasarkan pada sejumlah pertimbangan administratif. SMA Siger disebut belum mengantongi izin operasional, belum terdaftar dalam Data Pokok Pendidikan (Dapodik), serta secara kewenangan berada di luar lingkup pemerintah kabupaten/kota karena pendidikan menengah atas merupakan urusan Pemerintah Provinsi Lampung. Atas dasar itu, DPRD menilai pengajuan anggaran tersebut tidak relevan dan berpotensi menimbulkan persoalan hukum di kemudian hari.
Di tengah polemik tersebut, sikap pengurus yayasan justru memunculkan tanda tanya. Ketua Yayasan Siger Prakarsa Bunda, Khaidarmansyah, yang juga mantan Kepala Bappeda dan pernah menjabat Plt Sekda Kota Bandar Lampung, enggan memberikan penjelasan substantif. Ia meminta agar pertanyaan terkait sekolah tersebut diarahkan langsung ke Disdikbud Kota Bandar Lampung.
“Tolong dikonfirmasi ke Dinas Pendidikan,” kata Khaidarmansyah saat dihubungi jurnalis, Kamis, 11 Desember 2025.
Sikap serupa juga ditunjukkan Sekretaris Yayasan Siger Prakarsa Bunda, Satria Utama, yang diketahui masih berstatus Plt Kasubag Aset dan Keuangan di Disdikbud Kota Bandar Lampung. Hingga kini, upaya klarifikasi yang diajukan kepadanya belum mendapatkan tanggapan.
Situasi ini semakin memicu kekhawatiran publik, terlebih setelah muncul laporan bahwa honorarium guru SMA Siger belum dibayarkan sejak awal penyelenggaraan sekolah. Padahal, sekolah tersebut telah menerima sekitar 95 peserta didik dan disebut masih berpotensi bertambah. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran akan kemungkinan penelantaran hak guru dan siswa apabila persoalan pendanaan dan legalitas tidak segera diselesaikan.
Sejumlah pihak juga mempertanyakan kemungkinan adanya skema pendanaan lain di luar mekanisme APBD yang tidak diketahui DPRD. Kekhawatiran ini mencuat lantaran pengalaman sebelumnya terkait dana hibah yang dinilai kurang transparan, sehingga menuntut pengawasan lebih ketat agar tidak terjadi konflik kepentingan atau penyalahgunaan kewenangan dalam pengelolaan pendidikan.***






