SAIBETIK- Kebijakan anggaran Pemerintah Kota Bandar Lampung di bawah kepemimpinan Wali Kota Eva Dwiana menuai sorotan tajam. Sejumlah alokasi dana hibah dinilai tidak sejalan dengan prioritas pelayanan dasar masyarakat seperti pendidikan dan kesehatan, sehingga memunculkan kritik dari DPRD dan publik.
Pada awal periode kedua kepemimpinan Eva Dwiana, pola penganggaran Pemkot Bandar Lampung kembali menjadi perbincangan luas. Bukan hanya di ruang rapat legislatif, perdebatan juga ramai di ruang publik dan media sosial. Arah kebijakan fiskal dinilai lebih condong pada pemberian hibah kepada sejumlah instansi vertikal ketimbang memperkuat program unggulan yang langsung menyentuh kebutuhan warga.
Sorotan utama tertuju pada dana hibah kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kota Bandar Lampung sebesar Rp25 miliar untuk pembangunan kantor sekretariat. Bawaslu merupakan lembaga independen yang berada di bawah struktur Bawaslu RI, bukan bagian dari organisasi perangkat daerah Pemkot. Kebijakan ini memunculkan pertanyaan, mengingat secara politik Bandar Lampung merupakan wilayah dengan dinamika elektoral tinggi, termasuk keterkaitan keluarga inti wali kota dalam kontestasi politik sebelumnya.
Tak berhenti di situ, Pemkot juga menghibahkan lahan seluas satu hektare di kawasan Kemiling kepada Polda Lampung untuk pembangunan fasilitas kepolisian. Jika menggunakan estimasi harga tanah rata-rata Rp750 ribu per meter persegi, nilai hibah tersebut setara sekitar Rp7,5 miliar. Langkah ini dinilai kontras ketika dibandingkan dengan alokasi anggaran sektor pendidikan yang justru terbatas.
Rencana hibah terbesar justru diarahkan kepada Kejaksaan Tinggi Lampung dengan nilai mencapai Rp60 miliar untuk pembangunan gedung. Angka tersebut melampaui alokasi anggaran kesehatan maupun pendidikan yang menjadi kewajiban utama pemerintah daerah. Kondisi ini memperkuat kesan bahwa skala prioritas anggaran Pemkot Bandar Lampung mengalami pergeseran signifikan.
Ketimpangan semakin terlihat ketika anggaran Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung hanya sekitar Rp50 miliar, yang sebagian besar habis untuk menutup tunggakan dan pembayaran jaminan kesehatan. Sementara itu, anggaran BOSDA untuk mendukung pendidikan gratis tingkat SMP hanya Rp6,5 miliar, angka yang dinilai tidak memadai untuk menjamin kebijakan pendidikan tanpa pungutan.
Ketua Komisi IV DPRD Kota Bandar Lampung, Asroni Paslah, secara terbuka mengkritisi kondisi tersebut.
“Anggaran kesehatan dan pendidikan ini menyangkut hak dasar masyarakat. Kalau nilainya justru lebih kecil dibanding dana hibah, tentu kami mempertanyakan keberpihakan kebijakan anggaran itu,” ujarnya dalam rapat pembahasan anggaran, 22 November 2025.
Pemkot Bandar Lampung sendiri telah memberikan klarifikasi bahwa hibah kepada instansi vertikal mengacu pada PP Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Namun DPRD menilai proses perencanaan dan koordinasi belum sepenuhnya transparan, khususnya terkait hibah bernilai besar.
Kondisi ini menempatkan kebijakan anggaran Eva Dwiana dalam sorotan publik yang semakin kritis. Di tengah keterbatasan fiskal dan defisit anggaran daerah, masyarakat menuntut konsistensi pemerintah kota untuk memprioritaskan pendidikan dan kesehatan sebagai fondasi utama pelayanan publik.***





