SAIBETIK– Suasana berbeda terlihat dalam aksi unjuk rasa ribuan mahasiswa dan masyarakat yang digelar di depan Kantor DPRD Provinsi Lampung, Senin (1/9/2025). Tidak hanya orasi dan tuntutan yang mengisi hari itu, tetapi juga momen kebersamaan yang hangat dan humanis antara aparat pemerintah dan peserta aksi.
Momen itu terjadi saat para pimpinan daerah, termasuk Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal, Ketua DPRD Ahmad Giri Akbar, Kapolda Lampung Irjen Pol Helmy Santika, dan Pangdam XXI/Radin Inten Mayjen Kristomei Sianturi, memilih duduk bersila di lapangan. Mereka tampak menyatu bersama mahasiswa, mendengarkan aspirasi yang mengalir deras dari mimbar aksi. Langkah ini tidak hanya memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk menyampaikan tuntutannya secara langsung, tetapi juga menampilkan sosok pimpinan yang dekat dengan rakyat dan mampu memahami semangat perjuangan generasi muda.
Di tengah riuh orasi dan kibaran spanduk yang menuntut berbagai perubahan, hadir kejadian kecil yang membuat suasana lebih cair. Sejumlah pegawai Pemerintah Provinsi Lampung datang membawa plastik merah berisi makanan ringan. Tanpa banyak bicara, mereka membagikannya kepada para peserta aksi yang sejak pagi berdiri di bawah terik matahari.
Sekejap, wajah-wajah lelah mahasiswa dan masyarakat berubah lebih segar. Beberapa langsung membuka bungkus snack, sementara yang lain saling berbagi sambil tersenyum dan tertawa kecil. Ada pula yang memilih duduk santai di bawah pepohonan, menikmati camilan sembari menonton jalannya aksi. Pemandangan sederhana ini menghadirkan nuansa keakraban yang jarang terlihat dalam unjuk rasa. Suara orasi yang lantang bersahut dengan tawa ringan, menandakan bahwa meski berada pada posisi berbeda, baik sebagai aparat pemerintah maupun penyampai aspirasi, masih ada ruang kebersamaan yang bisa dinikmati bersama.
Kehadiran pegawai Pemprov Lampung dengan camilan sederhana tersebut seakan menjadi jeda menyejukkan di tengah dinamika aksi yang intens. Serba-serbi kecil ini membuktikan bahwa unjuk rasa tidak selalu identik dengan ketegangan. Sebaliknya, bisa memunculkan sisi humanis yang menghangatkan suasana, sekaligus menumbuhkan rasa saling menghargai antara pemerintah dan rakyatnya.
Beberapa peserta aksi dari Aliansi Lampung Melawan terlihat larut dalam momen kebersamaan tersebut. Mereka duduk santai sambil bercengkerama dengan kawan seperjuangan, tertawa, dan saling memberi camilan. Momen ini menambah kesan damai pada jalannya demonstrasi, menegaskan bahwa perjuangan politik dan aspirasi rakyat tidak harus selalu dilalui dengan ketegangan atau konfrontasi.
Selain menghadirkan keakraban, momen ini juga menjadi simbol pendidikan politik yang baik bagi generasi muda. Mahasiswa belajar bahwa komunikasi, empati, dan sikap humanis dapat berjalan bersamaan dengan semangat menuntut keadilan dan perubahan. Sementara bagi pemerintah dan aparat, pengalaman ini menjadi pengingat bahwa kedekatan dengan masyarakat, bahkan melalui hal sederhana seperti membagikan makanan ringan, dapat mencairkan suasana dan membangun kepercayaan publik.
Peristiwa kecil namun bermakna ini menunjukkan bahwa di balik seruan orasi dan tuntutan politik, selalu ada ruang bagi empati, kebersamaan, dan interaksi manusiawi yang menyejukkan. Lampung, pada hari itu, tidak hanya menjadi saksi aksi damai, tetapi juga contoh bagaimana demokrasi dapat dijalankan dengan penuh kesadaran dan rasa kemanusiaan.***