SAIBETIK– Bhayangkara Presisi Lampung FC kembali menjadi sorotan publik setelah pertandingan kandangnya melawan Persita pada Sabtu, 2 November 2025, di Stadion Sumpah Pemuda Way Halim, Bandar Lampung. Club sepakbola yang dimiliki dan dikelola Polri ini ternyata menghadapi persoalan serius: stadion berkapasitas belasan ribu penonton tampak sepi dan mubazir.
Bhayangkara Presisi Lampung FC, yang resmi beroperasi sejak 2025, dianggap oleh sebagian pihak sebagai simbol insolidaritas kepolisian, khususnya di jajaran Polda Lampung dan Polresta Bandar Lampung. Meskipun tim ini memiliki basis organisasi yang kuat dan profesional, kehadiran suporter seakan tidak menjadi prioritas. Dua kelompok suporter yang baru berdiri, elBhara pada April 2025 dan Sikambhara pada Mei 2025, masih kalah dikenal, sehingga klub tampak berjalan tanpa dukungan massa signifikan di tribun.
Pengelolaan klub ini pun menarik perhatian publik. Pengurus besarnya terdiri dari jajaran Polri terkemuka, seperti Irjen Pol. Agus Suryonugroho sebagai CEO, Kombes Pol. Sumardji sebagai COO, dan AKBP Reza Arifian sebagai Manajer Tim. Semua pihak jelas paham bahwa stadion Way Halim adalah milik Polri, namun ironisnya, pada laga tersebut, tribun tetap tampak lowong.
Data lapangan menunjukkan bahwa meskipun jumlah personel Polda Lampung pada 2022 mencapai lebih dari 11.500 orang, hanya sebagian kecil yang hadir mendukung timnya. Kapasitas belasan ribu penonton di stadion tampak mubazir. Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar tentang efektivitas pengelolaan tim dan strategi pengembangan sepakbola di Lampung. Apakah anggota Polri tidak termotivasi untuk hadir? Atau ada kendala komunikasi internal yang membuat dukungan mereka tidak maksimal?
Padahal, eks pelatih kepala PSM Makassar, Bernardo Tavares, pernah memuji atmosfer sepakbola Bandar Lampung pada laga perdana Bhayangkara bermain di kandang. Ia membandingkan kondisi stadion ini dengan Pare-Pare, Sulawesi Selatan, yang menurutnya memiliki atmosfer serupa dengan potensi besar. Namun pada pertandingan Sabtu itu, suasana yang semula dinilai ideal justru tampak hampa, menodai ungkapan pujian tulus dari Tavares.
Kondisi ini juga berdampak pada potensi ekonomi klub. Stadion yang sepi menyebabkan pemasukan dari tiket, merchandise, dan fasilitas pendukung lain sulit maksimal. Padahal tim yang dikelola oleh institusi negara semestinya memiliki dukungan internal yang memadai untuk menjaga keberlangsungan ekonomi sekaligus menumbuhkan budaya sepakbola yang sehat.
Pengamat olahraga dan pengamat kebijakan publik menilai bahwa situasi ini mencerminkan insolidaritas internal dan kurangnya sinergi antara tim manajemen klub dan jajaran anggota Polri. Dukungan untuk Bhayangkara Presisi Lampung FC seharusnya tidak hanya berupa manajemen administratif, tapi juga kehadiran nyata di stadion untuk menciptakan atmosfer kompetitif dan membangun loyalitas suporter.
Sementara itu, netizen dan pecinta sepakbola Lampung ramai memberikan komentar di media sosial. Banyak yang mempertanyakan strategi pengembangan tim, kemampuan manajemen untuk menarik penonton, serta efektivitas penggunaan fasilitas milik negara. Pertanyaan besar muncul: apakah Bhayangkara Presisi Lampung FC hanya menjadi simbol kepemilikan institusi, ataukah benar-benar bisa menjadi ikon sepakbola Lampung yang dicintai masyarakat luas?
Kasus ini menjadi peringatan bagi manajemen tim dan pihak kepolisian agar segera merumuskan strategi pengembangan suporter, peningkatan marketing pertandingan, dan sinergi internal yang lebih baik. Jika tidak, stadion megah seperti Sumpah Pemuda Way Halim bisa terus menjadi simbol mubazirnya fasilitas olahraga di Lampung, alih-alih menjadi pusat semangat sepakbola yang menginspirasi masyarakat.***








