SAIBETIK– Lampung kini menghadapi tantangan serius terkait keberlangsungan hutan dan nasib ribuan keluarga yang menggantungkan hidup dari kawasan hijau tersebut. Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal menyerukan agar pemerintah kabupaten/kota yang memiliki wilayah hutan tidak hanya berpangku tangan, melainkan aktif membina petani hutan. Salah satu langkah mendesak yang harus dilakukan adalah penyusunan dokumen Integrated Area Development (IAD) berbasis perhutanan sosial.
Pesan ini disampaikan melalui Asisten Pemerintahan dan Kesra, M. Firsada, dalam upacara bulanan Pemerintah Provinsi Lampung di Lapangan Korpri, Komplek Kantor Gubernur, Bandarlampung, Rabu (17/9/2025). Menurutnya, dokumen tersebut akan menjadi landasan penting agar pembinaan lintas sektor bisa berjalan optimal dengan dukungan anggaran daerah yang sah.
“Hutan bukan sekadar hamparan hijau yang indah dipandang. Hutan adalah entitas hidup, sumber penghidupan, sekaligus benteng terakhir bagi kelestarian lingkungan kita,” ujar Firsada membacakan sambutan Gubernur.
Ia mengingatkan bahwa maraknya bencana alam seperti banjir saat musim hujan tidak lepas dari alih fungsi hutan menjadi budidaya monokultur maupun permukiman. Data Dinas Kehutanan Lampung menunjukkan, sekitar 80 persen kawasan hutan di bawah kewenangan provinsi telah dimanfaatkan oleh manusia. Kondisi ini mengkhawatirkan karena berpotensi memperburuk degradasi lingkungan.
Namun, di balik ancaman itu, perhutanan sosial dianggap sebagai jalan keluar. Skema ini mengubah paradigma petani yang sebelumnya dicap sebagai penggarap ilegal menjadi mitra sah dalam mengelola hutan. Dengan pola agroforestri, masyarakat tidak hanya memperoleh manfaat ekonomi, tetapi juga membantu memulihkan fungsi ekologis hutan.
Saat ini, tercatat lebih dari 94 ribu kepala keluarga di Lampung menggantungkan hidupnya dari kawasan hutan. Nilai transaksi ekonomi dari hasil perhutanan sosial bahkan mencapai Rp300 miliar lebih. “Angka tersebut bukti nyata bahwa hutan mampu menyejahterakan tanpa harus kehilangan kelestariannya jika dikelola bijak,” kata Firsada.
Ia juga menyoroti pentingnya pencatatan data produksi perhutanan sosial agar kontribusi masyarakat tidak luput dari catatan resmi. Banyak komoditas yang dihasilkan di kawasan hutan belum tercatat dalam data sektor pertanian, perkebunan, maupun peternakan. “Jika ada missing data, maka potensi ekonomi rakyat tidak akan pernah terlihat secara utuh. Padahal, kontribusinya sangat besar,” jelasnya.
Firsada menegaskan, pemerintah tidak bisa mengawasi seluruh kawasan hutan sendirian. Keterlibatan masyarakat adalah kunci. Dengan menjadikan mereka garda terdepan, pengawasan hutan akan lebih efektif dan berkelanjutan. “Menjaga hutan berarti menjaga kehidupan kita sendiri. Ini bukan pilihan, tapi kebutuhan,” tegasnya.
Dalam kesempatan itu, Gubernur juga mengajak seluruh pihak, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat, untuk bersama-sama peduli pada hutan dan petani hutan. “Mari kita wujudkan Lampung yang hijau, lestari, dan sejahtera. Mari kita buktikan kepada dunia bahwa bangsa ini mampu menjaga dan mengelola kekayaan alamnya dengan bijak,” seru Gubernur.
Upacara bulanan ini berlangsung khidmat dengan Polisi Kehutanan dari Dinas Kehutanan Provinsi Lampung bertindak sebagai petugas upacara. Seruan ini diharapkan tidak berhenti pada seremoni, melainkan benar-benar menjadi gerakan kolektif yang melibatkan semua lapisan masyarakat.***